Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Penerimaan Rasa
34
Suka
2,300
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Lo selalu menjadi pendiam waktu buat lagu,” ucapku.

Dia menoleh, “Lo juga sama kali. Bahkan lo lebih pendiam daripada gue waktu lo ngerjain tugas atau lagi nulis”. Aku tersenyum, dan dia melanjutkan lagi pekerjaannya.

Dia Raka—nama penanya. Seorang penulis, pencipta, dan pengarang lagu. Seseorang yang ku kenal 4 tahun. Seorang yang selalu membantuku melewati hari beratku.

Dan, aku Haneul—nama pena-ku. Haneul berarti 'langit' dalam bahasa korea. Aku menyukai langit, oleh karena itu aku memakai nama ‘Haneul’ sebagai nama pena-ku untuk kupakai di novel atau cerpen-cerpen yang kubuat. Ya, aku seorang penulis. Aku sudah menulis beberapa novel, diantaranya ada Placebo, Dunia Sang Penjelajah, Sirius, dan beberapa novel lainnya.

Pertemuanku dengan Raka bermula ketika dia mengirimiku direct message ke akun instagram-ku. Pesannya berisikan tentang dia yang sangat menyukai novelku yang berjudul Dream Catcher, sebuah novel yang mengisahkan seorang wanita yang berusaha mengejar mimpinya.

Aku sangat bahagia saat menerima pesan itu. Bagaimana tidak, Raka adalah seseorang yang sangat aku kagumi. Baik itu sebagai pembuat lagu maupun sebagai manusia. Aku mendengarkan semua lagu yang dibuatnya dan hampir semua lagunya sesuai dengan seleraku. Sejak saat itu kami mulai lebih sering berkirim pesan dan mulai berteman.

Jarak kami ternyata tidak terlalu jauh, jadi kami sering mengunjungi rumah masing-masing tetapi kami lebih sering menghabiskan waktu di studio-nya. Saat dia membuat musik, aku hanya sekedar bermain handphone, mengerjakan tugas, atau menulis novel.

Usia kami yang terpaut 5 tahun membuatku merasa lebih dimengerti. Terlebih karena aku tak punya kakak. Raka menjadi satu-satunya tempat ku berbagi segalanya, begitu juga sebaliknya. Aku sangat bersyukur dia hadir di hidupku.

Tiga tahun lalu adalah tahun terberat dalam hidupku. Aku mengalami thanatophobia, ketakutan akan kematian. Tak begitu parah memang, tapi aku juga overthinker—pemikir yang berlebihan. Ketakutan itu dimulai hanya karena aku membaca sebuah artikel mengenai tanda-tanda seseorang akan meninggal dunia. Saat itu aku tak takut untuk membacanya. Namun beberapa hari setelah membaca artikel itu, aku merasakan salah satu tanda yang tertera dia artikel itu. Sebagai overthinker, tanpa ku sadari aku mulai memikirkan mengenai tanda yang aku rasakan. Berbagai pertanyaan muncul di benakku, apa besok aku akan mati? Hari itu aku benar-benar menangis seharian, keringat dingin terus mengalir ketika aku memikirkannya, tubuhku kedinginan, dan aku semakin takut. Malam hari setiap beberapa jam sekali aku terbangun dan menangis karena ketakutan. Aku benar-benar takut bagaimana jika benar bahwa besok aku tak ada lagi di dunia ini. Keesokan harinya sekitar jam 3 sore perasaanku mulai tenang. Ketakutan itu menghilang.

Dua hari setelahnya aku dan Raka berjanjian untuk pergi jalan-jalan bersama. Tiga tahun lalu aku belum berpacaran dengannya, kami masih berteman. Aku sengaja tak memberitahu dia mengenai ketakutanku beberapa hari lalu, karena ku pikir sebelumnya aku hanya overthinking saja. Rasa takut itu benar-benar tak ada lagi selama beberapa pekan.

Hingga suatu hari saat aku menemani Raka membuat lagu di studionya. Ketakutan itu tiba-tiba muncul lagi, aku ketakutan dan mulai menangis. Raka yang awalnya ingin menanyakan pendapatku mengenai lagu buatannya, dia langsung panik melihatku menangis untuk pertama kalinya di hadapan dia. Dia menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Aku tak membalasnya. Pikiranku kacau, ketakutan itu muncul lagi, tubuhku bergetar dan aku kedinginan. Raka yang melihatku seperti itu langsung memelukku.

“Haneul, lo kenapa?” ucapnya khawatir.

Dia terus memelukku dan berusaha membuatku tenang. Aku juga berusaha menenangkan diriku. Tubuhku lemas, dan aku sudah mulai bisa mengontrol diriku.

“Gue ngambil minum dulu. Lo tunggu disini” ucapnya sambil beranjak.

Aku menggeleng, “Jangan. Temenin gue, gue takut”.

Dia kembali duduk, “Lo kenapa sih bikin khawatir aja?. Lo tiba-tiba nangis, tubuh lo gemeteran lagi”.

Aku menceritakan semua ketakutan itu dari awal. Dan mulai hari itu, kami bertemu setiap hari. Dia bilang kalau dia ingin memastikan bahwa saat aku ketakutan seperti tadi aku tidak sendiri, setidaknya ada dia.

Ketakutan itu perlahan semakin sering mendatangiku. Dan untungnya Raka selalu ada di sampingku.

Saat ini aku berada di puncak bersama Raka. Menikmati pemandangan dari atas dengan semilir angin sejuk yang selalu berdatangan. Sangat tenang. Sesuatu melintas di pikiranku.

“Ka, gue capek. Terus-terusan takut sama hal yang suatu saat nanti pasti akan terjadi. Tapi anehnya, gue tetep takut”, aku menghembuskan nafas berat.

“Neul, rasa takut itu cuman perasaan, dan perasaan adalah hal yang sementara, mereka akan berubah seiring bergantinya keadaan. Dulu gue selalu takut berada di urutan paling bawah. Gue takut kalau gak akan ada yang mau jadi temen gue. Karena itu gue selalu berusaha, walau gak berada di atas seenggaknya gue enggak berada di paling bawah. Tapi pada akhirnya semua cuman perasaan. Perasaan terkadang menimbulkan pemikiran berlebihan. Padahal gak ada yang pasti. Ada orang yang peringkat bawah tapi punya banyak temen, ada juga yang peringkat atas tapi gak punya temen. Sejak itu gue selalu mikir kalau perasaan ya perasaan, pemikiran ya hanya pemikiran, bisa bener, bisa salah. Dan daripada gue terus mikirin atau menolak rasa itu kenapa kita gak terima aja. Terima apapun yang dunia kasih ke kita. Sekarang bahkan gue ngerasa bahwa ketidakpastian hidup itulah yang ngebuat hidup menyenangkan. Jadi lo harus nerima rasa takut lo, dan itu gak apa-apa. Itu gak ngejadiin lo lemah. Seiring waktu berjalan semua akan baik-baik aja.”

Mulai hari itu perlahan aku mulai belajar menerima segalanya bukan hanya rasa takutku, tapi segalanya, rasa sakit, kecewa, marah, senang, dan lainnya. Bukan hal yang mudah memang, tapi itu layak. Semua yang kita rasakan baik itu yang kita inginkan ataupun tidak adalah salah satu bentuk perjalanan hidup. Aku harap kita semua menerima dan menjalani setiap perjalanan dengan hati yang ringan. Kita manusia, dan menurutku manusia adalah makhluk dengan beribu perasaan. 

Dua tahun lalu, hari dimana kami mulai berpacaran ada sebuah papan tulis berukuran sedang yang terletak di tengah taman. Aku dan Raka menghampiri papan tulis itu. Ada sebuah pertanyaan yang tercatat di papan tulis itu, ‘Memanusiakan diri sendiri adalah...’. Aku tersenyum dan mengambil selembar sticky notes yang tersedia di sana. Raka juga melakukan hal yang sama.

‘Memanusiakan diri sendiri adalah tetap menjalani kehidupan yang kau inginkan walau dunia memberimu rasa sakit.’ –Raka.

‘Memanusiakan diri sendiri adalah menerima semua rasa yang dunia beri terhadapmu dan membiarkan dirimu merasakan segala rasa yang ada di dunia ini.’ –Haneul

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
♥️♥️♥️
@nunuohnunu : Terima kasih :)
bagus kak
@jedarjedor : Terima kasih :)
Nice Kak
@hernowoadiatmo : :)
Wah dalem kak
Rekomendasi dari Drama
Flash
Penerimaan Rasa
Elysiaaan
Flash
Seperti Menunggu Kue Matang
AlifatulM
Novel
Bronze
Rain Puddles
Rakell
Flash
Sang Penghibur Kerajaan
Jaydee
Cerpen
Ada Apa dengan Cinta(ku)
hyu
Flash
Bronze
Suara adalah Aib
Siti Soleha
Novel
Bronze
Overcast Wedding
Ayu Andini Sekarmelati
Novel
Gold
Northanger Abbey
Noura Publishing
Novel
Bronze
Love in The Moonlight
Putu Felisia
Novel
Bronze
Dirgalara
Chris Aridita
Novel
Bronze
Di Balik Senja
Kepo Amat
Skrip Film
Diary untuk Arland (Script)
Rika Kurnia
Flash
Kilat Karma
Athar Farha
Novel
Bronze
Dunia Alina
Prasanti Ayuningtyas
Novel
Mentari
Putri
Rekomendasi
Flash
Penerimaan Rasa
Elysiaaan
Cerpen
Dunia Sang Penjelajah
Elysiaaan
Cerpen
Malioboro, dia menghilang
Elysiaaan
Flash
Pupa
Elysiaaan
Flash
Api dalam Hujan
Elysiaaan
Cerpen
Langit dan Jaraknya
Elysiaaan
Cerpen
Melampaui Batas
Elysiaaan
Cerpen
Just One Person
Elysiaaan
Cerpen
Langit Malam
Elysiaaan