Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kakinya bergerak mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali ia berhenti tepat di depan pintu rumah berwarna cokelat yang masih tertutup. Dipandanginya papan kayu itu dengan lamat-lamat, sekaligus mempertajam indra pendengarannya. Suara sekecil apa pun akan membuatnya bergegas menuju pintu dan membukanya. Melongokkan kepala ke luar berharap yang ia tunggu akan segera datang.
Berkali-kali ia mengecek benda pipih di tangannya. Mengecek angka yang tiap menitnya berubah menjadi jam. Tak lupa pula mengecek notifikasi pesan masuk atau mungkin daftar panggilan. Siapa tahu ada panggilan masuk yang tidak ia sadari, meski rasanya mustahil karena benda itu tak pernah lepas dari tangannya barang sedetik pun.
Rasanya ia sudah tidak sabar lagi menanti. Bibir merahnya berkecumik merapal doa agar yang ia nantikan segera muncul. Ia tidak mau makan atau minum, bahkan duduk sejenak untuk beristirahat. Padahal dengan mengenakan sepatu hak tinggi dalam waktu lama, bisa membuat tumitnya lecet. Namun, ia tetap bersikeras.
Ia memang keras kepala. Tidak ada yang mampu menggoyahkan pendiriannya kecuali dirinya sendiri.
“Aku khawatir dia akan kecewa jika aku tidak menyambutnya di depan pintu seperti biasa. Kau tahu ‘kan dia begitu manja dan sayang padaku.” Begitu selalu yang ia katakan jika seseorang menyuruhnya berhenti.
Sampai akhirnya, sang pria yang senantiasa menemaninya berkata dengan nada frustrasi dan hati teriris, “Berhentilah, Sayang! Jangan kau tunggu lagi. Dia tidak akan datang. Dia sudah pergi ke Surga seminggu yang lalu!”