Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku melangkah malas keluar gerbang sekolah menuju halte bus, langit kelabu mengantung rendah di langit, hujan sebentar lagi turun, tetapi aku tak peduli.
Tak lama kemudian tetes air hujan pertama turun, lalu disusul ribuan tetes berikutnya membuat orang-orang berlari kocar-kacir mencari tempat berteduh. Tak jauh dari halte bus, ada seorang laki-laki dan perempuan yang berlari-lari kecil menuju halte, lantas mereka duduk di sampingku.
Hujan semakin deras membuatku semakin gelisah, apalagi tidak ada tanda-tanda bus akan datang dan langit semakin gelap. Sayup-sayup aku mendengar kakak perempuan tadi berbisik-bisik pada teman laki-lakinya, aku tidak bisa mendengar jelas karena suara hujan mengalahkannya.
“Hei, Dik.” Seseorang menyentuh pelan bahuku, aku menoleh dan mendapati kakak perempuan tadi tersenyum padaku.
“Bisakah kau membantu kami?” tanya kakak perempuan itu.
“Aku? Apa yang bisa aku lakukan?” tanyaku bingung, memangnya aku ini siapa? Hanya anak SMA kelas sebelas yang tidak bisa apa-apa dan rajin membuat guru marah.
Kakak laki-laki di sebelahnya berdiri, mendekatiku. Dia membuka ransel hitamnya, dan menyerahkan sebuah benda yang dibungkus kain hitam padaku, aku tidak bisa menebak benda apa yang ada di dalamnya.
“Apa ini, Kak?” tanyaku sembari menimbang-nimbang benda berbentuk kotak itu di tanganku.
“Bisakah kau menjaga benda ini untuk kami? Jangan sampai orang lain tahu isinya, bahkan kau sendiri pun tidak boleh tahu. Kalau tidak, sesuatu yang buruk bisa terjadi pada orang yang tahu isinya,” jawab kakak perempuan itu.
“Hah?” Aku masih sulit memproses informasi itu di otakku.
“Kau hanya perlu menjaga benda itu ... dan saatnya tiba, kami akan mengambil benda itu,” ucap kakak laki-laki itu. “Jaga dirimu baik-baik.”
Setelah mengucapkan hal itu, dia menggandeng teman perempuannya dan mengajaknya berlari menembus hujan.
Sesampainya di rumah, aku menaruh benda itu di meja belajar, memandangnya. “Aku penasaran apa isinya? Kenapa benda ini sangat penting? Dan kenapa harus dititipkan padaku? Lalu siapa mereka?”
Tanganku gatal sekali untuk membuka benda itu, akhirnya tanpa pikir panjang lagi, aku membuka benda yang diselimuti kain hitam itu. Ada sebuah kotak berwarna merah hati di dalamnya, aku membuka kotak itu perlahan, dan melihat isinya. Aku terkejut saat melihat sebuah pisau yang dipenuhi bercak darah.
“Aku kan sudah mengatakannya, kalau kau tidak boleh melihat isi benda itu.”
Aku terkejut saat kedua kakak-kakak yang ada di halte tadi tiba-tiba berada di kamarku. Kakak laki-laki tadi mendekati meja belajar dan mengambil pisau penuh darah itu. Aku yang semula duduk, cepat-cepat berdiri dan beringsut mundur.
“Bagaimana kalian bisa di sini?” tanyaku.
“Kamu mau tahu kenapa aku menyuruhmu menyimpan benda ini? Kenapa harus kamu? Dan kenapa jika orang yang melihat benda ini akan dalam situasi yang buruk?” tanyanya sembari mengelus pisau itu.
“Karena pisau ini dicari polisi, benda ini satu-satunya bukti bahwa aku seorang pembunuh, dan kamu orang yang kebetulan lewat. Dan ... jika ada orang yang melihat benda ini, maka orang itu harus ... mati, agar aku aman.”
Aku melotokan mata saat kakak laki-laki itu mengarahkan pisau itu ke mataku. Aku refleks menutup mata dan berteriak. Saat aku membuka kembali mataku, yang kulihat pertama kali adalah langit-langit kamarku. Jadi, aku hanya ... bermimpi?
Aku memutuskan untuk duduk, melihat ke arah meja belajarku, mataku melotot saat menyadari ada sesuatu di sana. “Kenapa benda hitam itu ada di sana?”