Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kutiup debu di atas buku yang berada di tumpukan pojok gudang, buku-buku itu tidak terawat, kertasnya berwarna kuning dan beberapa lembarnya dimakan rayap. Aku mengambil tumpukan buku itu, memilah yang mana kiranya dari buku itu bisa dibaca atau untuk dibuang.
Tanganku terhenti saat menemukan buku ditumpukan kedua. Buku dengan sampul hitam setebal lima senti dan judulnya tertulis dengan spidol putih, Lima Permintaan.
Aku membuka lembar pertama, aroma buku yang lama tidak dibuka mulai tercium. Di sana tertulis, “Tuliskan lima permintaanmu, maka akan terkabul. Namun ingatlah, kau tidak bisa membatalkan keinginanmu.”
Aku membuka lembar berikutnya, hanya ada tulisan Permintaan 1 dengan huruf tegak dan tebal di sana, tidak ada kalimat lain, meninggalkan kekosongan yang janggal. Aku merogoh saku, mengambil pena. Sekadar iseng menuliskan permintaan, buku ini hanya omong kosong.
“Aku ingin sepiring ayam geprek,” ucapku sembari menulis di buku itu.
Angin tiba-tiba berembus, aku menutup mata karena takut debu masuk. Padahal di dalam gudang tidak ada jendela dan aku yakin sudah menutup pintu. Saat aku membuka mata, aku dikejutkan dengan adanya sepiring ayam geprek di samping buku itu.
“Jadi ... ini nyata? Tidak .... Aku akan mencoba lagi.” Aku menuliskan permintaan kedua di lembar berikutnya, aku ingin agar gudang ini bersih.
Dan permintaanku menjadi nyata, gudangnya bersih tanpa perlu kubersihkan dengan susah payah.
Keesokan harinya, aku membawa buku itu ke sekolah. Saat memikirkan permintaan ketiga, aku tiba-tiba teringat tentang Hilmi. Dia adalah cinta pertamaku sejak SMP, dan kini sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya karena dia pindah ke kota lain.
Aku menuliskan permintaan ketigaku agar aku bisa bertemu dengan Hilmi.
“Apa yang ini mungkin?” gumamku.
Saat pulang sekolah. Aku duduk di bus, dan bus mulai berjalan. Aku memandang ke arah jendela, aku terkejut saat melihat Hilmi duduk di halte bus.
“Jadi ... apapun yang kuminta akan dikabulkan? Bahkan saat aku ingin bertemu dengannya?” gumamku, aku tersenyum lebar sembari memandang Hilmi dari jendela bus.
Aku tidak langsung pulang setelah turun dari bus, aku mampir sejenak ke kafe untuk membeli minuman. Sembari menunggu pesananku datang, aku mengeluarkan buku Lima Permintaan itu.
Kubuka lembar demi lembar hingga sampai pada lembaran permintaan keempat, tinggal dua permintaan lagi.
Sebenarnya aku sudah lama ingin mengetahui hal ini, aku ingin tahu perasaan Hilmi padaku, apakah dia tidak ada perasaan denganku sejak SMP? Apakah cintaku bertepuk sebelah tangan? Ataukah dia juga punya perasaan yang sama, tetapi tidak berani mengungkapkannya seperti aku?
“Permintaan keempat. Aku ingin tahu bagaimana perasaan Hilmi padaku, apakah dia mencintaiku atau tidak?” Tulisku di buku usang itu.
Bersamaan dengan kalimat terakhir yang kutulis, minumanku datang, aku mengucapkan terima kasih pada pelayan kafe. Aku menyesap pelan jus yang kupesan.
Lima menit kemudian aku mendengar bunyi lonceng tanda pelanggan datang. Aku refleks menolehkan kepala. Di sana ada seorang gadis yang berseragam sama denganku, artinya kami satu sekolah, gadis itu bersama seorang pemuda yang merangkulnya.
Aku terdiam saat mengetahui bahwa pemuda itu adalah Hilmi. Tiba-tiba mataku terasa panas.
Aku tidak boleh salah paham, mungkin gadis itu saudaranya, batinku.
Hilmi dan gadis itu duduk di meja yang tidak jauh dari tempatku, dari sini aku bisa mendengar percakapan mereka.
“Karena hari ini Anniversary kita yang kedua, aku akan mentraktir makanan kita hari ini, pilihlah sesukamu,” ucap Hilmi dengan nada lembut.
Seketika hatiku mencelos, aku tidak tahu bagaimana mataku bisa berair, aku memejamkan mata, membuat air mataku menetes ke buku usang itu. Tidak mungkin kan kalau Hilmi mengucapkan kalimat itu pada saudaranya, kalau bukan pada pacarnya?
Berarti selama ini cintaku bertepuk sebelah tangan. Apa dia tidak melihatku duduk di sini? Apakah aku dilupakan? Apakah aku hanya berstatus mantan teman SMP yang tidak penting?
Aku meremas tasku untuk menahan rasa sakit. Segera saja aku memasukkan buku usang itu ke dalam tasku dan berlari keluar kafe dengan air mata yang terurai.
Aku tidak bisa berhenti menangis sampai malam harinya, ibuku sampai khawatir dan menanyaiku ini-itu, aku jawab saja nilai matematikaku jelek jadi aku menangis. Maaf aku bohong, Ibu.
Aku mengusap pipiku kasar dan bangkit dari tempat tidur. “Aku tidak boleh menangis karenanya, belum tentu juga dia memikirkanku. Kenapa juga aku harus tersakiti karenanya? Aku harus bangkit.”
Aku mengambil tas yang tadi kulempar sembarangan di lantai, kuambil buku usang itu dan kutaruh di atas meja belajar. Aku duduk di kursi, menyalakan lampu belajar, mengambil pena dan membuka lembar yang bertuliskan Permintaan Kelima di buku itu.
Aku memantapkan hatiku, aku harus yakin dengan keputusan yang kuambil. “Aku harus bisa. Ini permintaan terakhir, permintaan kelima.”
Aku ingin melupakan semua tentang Hilmi, tentang dia dan tentang perasanku, aku ingin melupakan itu semua. Aku ingin seolah-olah tidak pernah bertemu dengannya.
Keesokan harinya. Hari Minggu, aku jalan-jalan di mall sekitar rumah, aku membeli es krim dan duduk di kursi taman, menikmati hari libur.
Tiba-tiba seorang pemuda duduk di sebelahku tanpa izin. “Hei, bagaimana kabarmu?”
Aku tidak menjawab, aku meliriknya sebal, siapa sih dia? Tiba-tiba duduk di sebelaku tanpa izin, dan menyapa dengan sok akrab, aku tidak suka.
“Tahu nggak, aku lagi patah hati,” ucapnya tiba-tiba.
Nggak tanya!
“Padahal baru kemarin aku merayakan anniversary dengannya, dan kini kami putus. Takdir memang tidak terduga ya?”
Aku menoleh sekilas, memangnya apa urusanku kalau kau putus atau tidak? Kenal juga tidak.
“Hei, Hilmi!” seru seorang pemuda lainnya, dia mendekati kami.
“Eh? Bukankah dia teman SMP-mu? Yang katanya cinta pertamamu itu? Yang katanya tidak bisa kau lupakan,” cerocos pemuda yang baru tiba tadi kepada temannya.
Pemuda yang dipanggil Hilmi tadi membekap mulut temannya dan menyeretnya menjauh, dia berteriak sebelum benar-benar hilang dari pandanganku, “Sampai jumpa Lucy! Dan tentang cinta pertama yang diucapkan temanku ... sampai sekarang kau masih menempati posisi itu.”
Aku terkejut, bagaimana dia tahu namaku? Dan apa maksudnya tadi? Cinta pertama? Dan aku masih menempati posisi itu? Apa artinya dia masih mencintaiku sampai sekarang? Tetapi ... aku tidak mengenalnya.