Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Sikap antusias adalah sebuah kekuatan di era gempuran teknologi" Kata mereka!
Merujuk kepada hal tersebut, seseorang anak perempuan dari kalangan ekonomi menengah bawah, Dian Hartati namanya, memaknai sebuah kemampuan layaknya sebuah keharusan dewasa ini.
Dian adalah seorang yang sangat ingin tahu, mencari apa saja yang tak diketahui, menganalisa, mempropaganda, lalu meniada. Dian yang antusias selalu terpesona akan hal yang berbau tabu, menelisik apa saja sampai ke akarnya.
Dian adalah tokoh domestik yang elegan dan terpelajar, semua kalangan kenal dan kagum padanya, sekaligus takut, khususnya kaum laki-laki. Sebab, kekuatan yang mengerikan datang dari pengetahuan, kata kebanyakan dari mereka—laki-laki.
Pengagum revolusi perancis, serta dengan ke–fanatikan—nya yang berlebih membuat sesekali ia sulit diterima di lingkungan yang serba apa-apa harus dilakukan pria. "Wanita hanya pajangan" Kata mereka yang tak di sukai Dian.
Pernah di suatu waktu, Dian yang sedang asyik membaca buku di sebuah kedai kopi, melihat sepasang suami-istri melakukan perdebatan kecil, mereka memperdebatkan masalah asi, sikat gigi, hingga mobil mercy. Dian yang sedikit gelisah akan kebisingan kecil itu merasa sedikit terpanggil untuk ikut meremukkan hal tersebut, ia tak menyadari akan porsi, atau kondisi dan hanya bergerak atas emansipasi.
Dian datang menghampiri sang pasangan, bertanya "ada apa? Bukan bermaksud mencampuri, tapi tak baik berdebat di tempat terbuka, mari lakukan di ruangan kedap suara" Mereka melirik sejenak ke arah Dian, acuh, lalu melanjutkan perdebatan. Sekali lagi Dian berkata
"Tuan dan nyonya, tak elok jika perdebatan kalian disaksikan orang banyak, alangkah baiknya beri sedikit privasi"
Sang tuan tampak tak suka, lalu sedikit berkata yang membuat Dian merasa jengkel
"Urusi saja urusanmu nona, ini perbincangan orang dewasa"
Dian dengan rasa kesal yang elegan lantas membantah hal tersebut, "bukankah dewasa harus berpikir luas, tak senonoh?"
"Apa maumu? Ini bukan urusanmu bukan?"
Sang tuan mulai tempramen, akan tetapi Dian tetap tampak elegan, dengan santai Dian berkata.
"Segala sesuatu yang tampak di depan mataku adalah urusanku, aku tak pandai untuk tak peduli, dan aku sudah 22 tahun, jadi bukan anak kecil"
Sang nyonya yang tampak lebih tenang berkata kepada Dian dengan sedikit tenang.
"Nona, kami berterimakasih atas antusiasimu, tapi saya harus memohon maaf, ini hanya perdebatan kecil kami, mungkin nona risih, tapi beginilah kami, ini hanya hal yang ditemui orang dewasa saja"
Sontak Dian merasa terganggu akan kalimat tersebut, Dian mengerutkan dahi, memeluk tubuhnya dengan angkuh, "dewasa? Entah siapa dari kita yang benar paham akan hal itu nyonya"
Ketika Dian hendak beranjak pergi, si tuan tertawa, dan berkata kepada sang nyonya bahwa Dian adalah anak muda yang nantinya akan mati konyol seperti pejuang lainnya.
Dian berbalik, "Tarik kembali ucapanmu tuan, dewasa atau bukan, itu tak dapat di ukur"
Sang tuan tampak meladeni kalimat Dian tersebut
"Kau tak benar-benar paham nona, ini masalah yang hanya ditemui orang dewasa"
"Lalu dewasa itu bagaimana? Jelaskan padaku wahai orang dewasa"
Dengan menarik nafas panjang, sang tuan mulai menjelaskan
"Dewasa adalah tindakan tak peduli, mengurusi masalah mereka sendiri" Sang tuan melirik ke arah Dian lalu melanjutkan "Jadi orang dewasa itu bukan pilihan, akan tapi keharusan, sebab dunia tak berkutat pada satu titik, dewasa adalah porsi menerima, dewasa bukan usia, tapi akal. Paham nona?"
"Bukan kah itu kata buku? Engkau mengutip dari mana tuan?"
Dian yang setiap hari membaca buku dengan mudahnya mengenali jika saja ada kalimat yang dikutip dari sana
"Dewasa versimu itu terlalu terpaku pada temuan orang-orang tuan, aku tak yakin kau benar-benar dewasa"
"Kau hanya anak kecil, jangan sok bicara, mana sopan santun mu?" Sang tuan membentak dengan amarah yang sedikit memuncak.
"Ini adalah sopan santunku tuan, meleburkan pengetahuan, aku tak melakukan sungkeman, ataupun jabat tangan untuk menunjukkan norma sopan santun, tapi dengan membagi pengetahuan"
Dian yang maha tahu, pergi, meninggalkan tuan dan nyonya dengan masalah mereka sendiri, ia menaiki bis jurusan kotanya.
Di dalam bis, Dian berdebat dengan dirinya sendiri akan apa hakikat dewasa.
"Bukan! Dewasa tak begitu, ia hanya lelaki tak bermoral yang bicara dewasa sesukanya, dewasa adalah porsi, bukan sebuah patokan. Jadi, aku adalah orang dewasa dengan versiku sendiri"
Jalanan dalam bis yang sunyi menghantarkan Dian entah kemana, selalu melaju dengan kecepatan sedang. Hingga tak terhingga bis itu selalu melaju, membawa setiap perempuan yang maha tahu, bis itu abadi, fana, dan ada dalam ketiadaan. Tak ada yang tahu kapan bis itu akan berhenti, dan konon, cerita dari para revolusioner mengatakan bahwa bis itu akan menjadi tumpangan bagi siapa saja, perempuan yang tak pernah berhenti berdedikasi.
Panjang umur perempuan di muka bumi...