Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku melihatnya tepat di depan mataku. Kakakku tersenyum, namun air matanya menetes. Saat pandanganku menyapu ke bawah, di sana aku dapat melihat ibuku terbujur kaku. Darahnya menggenangi lantai. Dan kakakku masih terdiam menatap mayat ibuku dengan tangannya menggenggam gunting yang sudah berlumur darah.
"Oneechan.."
Lirihku memanggil, tubuhku tak bisa bergerak. Kakiku terlalu lemas untuk berlari dan meminta bantuan. Yang bisa kulakukan hanya berusaha mempercayai apa yang terjadi di depanku. Namun akhirnya gagal karena kakakku menoleh menatapku. Dia menatapku aneh, senyuman masih ada di wajahnya. Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi kami bertatapan sangat lama.
Dia berdiri, berjalan menghampiriku. Aku ingin berlari namun tak bisa. Aku hanya diam, aku tau mungkin aku akan bernasib sama dengan ibuku. Aku akhirnya tak bisa menopang badanku lagi, aku terduduk dan memejamkan mata. Aku menunduk pasrah dan mulai mengeluarkan air mata.
Ctak
Aku membuka mata saat mendengarnya. Pandanganku langsung menatap gunting yang tadi ada di genggaman kakakku. Aku mendongak, menatap kakakku yang sudah menunduk mentapku. Dia mendudukkan dirinya, aku masih dapat melihat tatapan anehnya. Posisi kami sejajar sekarang. Dia masih menunduk, rambut panjangnya terurai ke bawah.
“Kill me. Please.”
Aku membulatkan mata. Aku menggeleng tapi kakakku kembali tersenyum. Aku mulai merasakan benda dingin itu menyentuh tanganku. Kakakku memberikannya dan membungkusnya dengan jari-jariku. Sekarang aku menggenggam gunting itu. Dan entah kenapa sudut bibirku tertarik ke atas.
“Hikari, do or die.”
Aku tersenyum lebar. Aku tak ingin kalah dengan senyuman kakakku. Ibuku selalu mengatakan aku adalah gadis suram yang tak pernah tersenyum. Selalu membandingkanku dengan kakakku yang selalu tersenyum dengan manis. Dan sekarang lihat, aku menyainginya. Aku tersenyum lebih manis darinya.
Perlahan tanganku terangkat. Kakakku memejamkan matanya, tapi senyuman masih tak hilang dari wajahnya. Aku menangkup wajah kakakku. Mengusapnya lembut dan menatap setiap inci wajah yang selalu dipuji orang-orang itu. Benar-benar indah, senyum yang terlukis di bibir tipisnya sangat sempurna. Matanya masih terlihat lebar meski sedang terpejam. Aku menghabiskan banyak waktu untuk terdiam di sana. Melihat senyuman itu perlahan memudar dan bibirnya mulai memucat.
Aku menegakkan badanku. Melihat apa yang terjadi. Dan tanganku sudah di sana, menancapkan gunting itu pada leher kakakku. Aku pun mencabutnya. Banyak sekali darah yang keluar. Aku berpikir bagaimana aku membersihkannya nanti.
Aku membunuh kakakku. Itu kebenarannya. Namun entah kenapa, aku tak merasakan apapun saat ini. Aku ingin marah, aku ingin menangis, namun aku terus tersenyum. Aku tak tau apa yang terjadi, tapi aku benar-benar lega. Aku psikopat, tapi aku tak menyesalinya. Aku tau aku bersalah tapi aku tak ingin meminta maaf.
“Hikari, what's happening...”
Aku yang mendengarnya menoleh perlahan. Ayahku ada di sana. Dengan tatapan yang aku tau itu milikku beberapa menit yang lalu. Aku membaringkan tubuh kakakku yang sudah terbujur kaku. Aku berdiri dan tersenyum menghadap ayahku. Perlahan aku menghampirinya, masih dengan gunting di genggamanku.
Ayahku tak berkutik, dia masih diam di sana. Aku yang tau bagaimana perasaannya memutuskan untuk menenangkannya dengan menggenggam tangannya. Aku juga menggenggamkan gunting itu di tangan ayahku lalu mengarahkannya ke leherku. Aku tersenyum, sangat manis, yang kuharap lebih manis dari kakakku.
“Otousan, do or die.”