Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan tetaplah hujan, ia turun dengan terjal mendobrak apa saja, siapa saja. Hujan bukanlah hujan jika tak kenal rintik, tak tahu rinai, tak mengerti tetes. Hujan kadang membabi-buta, mengamuk semaunya, mengorek tanah lalu membanjiri pipi. Tanpa sengaja ada yang jatuh cinta dengan gagahnya hujan, Api namanya, ia mengendap dibalik tungku pengap yang selalu dinyalakan dengan kayu bakar oleh pemilik warung, setiap hari ia selalu memasak air agar si pemilik warung bisa membuatkan kopi.
Disetiap rintik, api selalu memandangi hujan, berdoa kepada Tuhan agar ia bisa lekas dewasa, supaya bisa ikut anak-anak kecil yang berlari keriangan ditengah hujan. Ia jatuh cinta pada hujan yang selalu mendatangkan berkah untuk semua orang: “tak terkecuali pemilik warung yang selalu menjaganya”. Ia tahu jika keluar ia bisa padam oleh hujan, ia tahu kodratnya, ia paham hakikatnya, ia mengerti kedudukannya, Tapi api terlalu jatuh jauh.
Api setiap harinya bekerja sebagai pemasak air untuk pemilik warung kecil ditengah perdesaan yang jauh dari perkotaan, pagi-pagi sekali api dibangunkan oleh pemilik warung, disandingkan dengan beberapa potongan kayu, agar api abadi kata pemilik warung. Ketika kayu dimasukkan ke dalam tungku, api paham bahwa ia harus mulai bekerja, menari-nari sambil meneteng cawan besi yang isinya entah apa, ketika api mulai redup, kayu-pun ditambah sebagai pengingat bahwa tidak ada istirahat buat api.
Api berteman dengan kopi, dan ikan asin yang biasa dimasak oleh pemilik warung. Setiap harinya mereka selalu berbincang perihal apa saja, mulai dari tanah tempat tumbuhnya segala macam pepohonan sampai pada langit suci yang tak berpenghuni. “hei api, kau tahu tidak? Aku bisa besar karena ulah siapa?” kopi mulai bercerita riwayat hidupya pada api, dan ikan asin. “ada sosok yang gagah menjelma air, ia turun dari ketinggian, tepat dilangit suci yang katanya tak berpenghuni, hujan namanya, dialah yang memberikan aku kesempatan untuk tumbuh besar” Lanjut kopi. “aku tak mengerti apa yang kau maksud kopi, keseharianku hanya menari di tungku bersama beberapa potongan kayu hingga larut malam sebelum aku padam.” Api bertanya kepada kopi karena tak mengerti apa yang dibicarakan kopi. “kau tak ingat senandung yang berbunyi keras sekali di atas atap? Menyanyikan lagu yang entah apa, akan tetapi kau selalu menikmatinya” kopi mengingatkan perihal rintik kepada api. “itulah hujan” lanjut kopi.
Rupanya pagi-pagi api memang kadang mendengar senandung lirih didubur atap, tapi ia tak tahu siapa namanya. “rupanya hujan” kata api bicara sendiri. Kenyataan bahwa hujan benar-benar ada telah meluluhlantakkan api, seketika api jatuh cinta dengan yang namanya hujan, meski api tak tahu-menahu perihal hujan, namun ia peka terhadap suara, rintik itu berbunyi setiap pagi membangunkan api yang masih berwujud bara, sebelum pemilik warung menyodorkan kayu agar api bangun dari tidurnya. Api jatuh cinta dengan senandung hujan yang terdengar begitu lirih diantara tungku pemilik warung, tentu saja ketika itu api belum tahu namanya hujan, ia menyebutnya senandung langit, sebab langit yang tak berpenghuni bisa saja kesepian menurut api, lalu langit bersenandung mencari teman.
Namun kenyataanya akhir-akhir ini jarang terdengar lagi senandung lirih itu, suatu hal yang wajar di pertengahan tahun hujan jarang turun, peran hujan digantikan dengan kemarau yang sangar. Api sadar bahwa kedatangan hujan sudah tak ada lagi. Apalah daya api hanya bisa bekerja dan terus bekerja sambil sesekali berbicara sendiri “apa gerangan yang membuat hujan tak lagi bersenandung? Atau langit tak berpenghuni telah menemukan teman sehingga ia tak perlu mengirimkan senandung hujan ke bumi?”. Kondisi api memang dalam keadaan patah hati, selayaknya muda-mudi, api juga punya hati, hanya saja tak ada yang tau wujudnya. Selayaknya orang yang sedang patah hati api selalu murung, kayu yang disodorkan pemilik warung-pun tak lahap ia makan “ada apa gerangan?” pemilik warung mencoba berbagai macam cara agar api mau bekerja namun usahanya nihil. Segala macam obat telah pemilik warung coba untuk membangunkan api, tapi tetap saja tak ada hasil. “aku patah hati” kata api, pemilik warung tak peduli sebab ia tak sempat memikirkan yang namanya cinta, pemilik warung butuh makan dan makan bisa didapat jika punya uang sedangkan uang dihasilkan dari bekerja, pemilik warung tak punya pekerjaan lain selain membuat kopi, tapi kali ini api merajuk “kayaknya aku tak makan malam ini” kata pemilik warung.
Api yang dalam kondisi patah hati tak mendengarkan kata siapapun, ia selalu termenung sambil sesekali memandangi langit tak berpenghuni dari balik celah tungku dan atap yang berlubang. Hari itu api mengerti perihal rindu, ia tercipta karena adanya jarak namun jarak tak berarti jika tak punya ikatan. “hujan, aku rindu senandungmu” kata api sambil memejamkan matanya lalu menjelma bara. Api tidur dalam kaeadaan patah hati.
Suatu hari api yang patah hati berjalan perlahan meninggalkan si pemilik warung, mencari hujan yang sudah beberapa hari tak mengunjunginya. Tanpa sadar ia meninggalkan jejak yang tak bisa dimaafkan, api menjadi terjal, api membabi-buta, api mengamuk semaunya, ia berteriak memanggil hujan dengan sangat keras. Hujan tidak dengar, tapi Tuhan mendengar. Si pemilik warung panik melihat api membabi-buta “tak mengerti cinta” kata api sambil teriak memanggil hujan.
Air turun dari ketinggian tapi bukan hujan, itu perbuatan manusia yang tak suka api, manusia kadang benci api yang terlalu merajalela “cukup dalam tungku saja kau boleh berkeliaran” kata manusia. Tak berlangsung lama, api padam meninggalkan asap rindu yang paling sendu sambil berteriak memanggil hujan. “hujan aku rindu” teriak api di penghujung langkahnya, api mengerti ia harus menjelma bara setelah mengamuk sejadi-jadinya. Langit tak berpenghuni tiba-tiba mengejutkan siapa saja, langit kala itu seolah berteriak dengan sangat keras, namun hanya sekali. Tak lama hujan tiba dengan senandungnya, dilihatnya api yang menangis sebab rindu, hujan lalu memeluk api dengan sangat erat, namun hujan tak sadar ia malah menenggelamkan api, membunuh api dengan cinta, menikam api dengan pisau rindu, api menangis sendu lalu hilang entah ke mana.