Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore hari itu, saat senja mulai muncul di langit salah satu pelabuhan di Banjarmasin, kamu mengajakku bertemu. Aku duduk di sebuah papan kayu yang sudah tua, menunggumu di sana. Beberapa detik kemudian, kamu datang dengan senyum yang kaupaksakan. Kamu duduk di sebelahku sambil menghela napas perlahan.
"Raa.." Kamu memanggilku, membuatku spontan menoleh ke arahmu.
"Iya, apa? Apa yang ingin kamu katakan kepadaku, Za? Katakan saja, tidak apa-apa," kataku kepadamu saat itu.
Kamu menatap mataku sambil tersenyum, "Aku mencintaimu, Raa."
Aku membalas senyumannya. Namun, tidak menjawab apa-apa. Kamu protes, "Kenapa diam saja?"
"Terima kasih sudah mencintaiku, Za. Terima kasih sudah menyayangi dan menjagaku selama ini." Aku tidak tau harus menjawab apa hingga pada akhirnya keluarlah kalimat itu dari mulutku.
"Tidak perlu berterima kasih, Raa. Aku melakukannya karena aku ingin saja." Saat kamu mengucapkan kalimat itu, terlihat kekecewaan di matamu. Aku sangat ingin memelukmu, tapi kuurungkan niat itu.
"Raa, kenapa mencintaimu begitu menyakitkan?" tanyamu dengan mata berkaca-kaca. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, mencoba menenangkan hatiku sendiri sebelum menjawab pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar itu.
Belum sampai aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan pertamamu, sudah muncul pertanyaan yang kedua. "Raa, kenapa kita dilahirkan dengan keyakinan yang berbeda?"
Aku bergumam dalam hati, Mengapa pertanyaan-pertanyaanmu bisa begitu sulit untuk kujawab, Za?
"Maaf, Za. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan kenapamu. Sudahlah, Za. Tidak baik jika kita terus-menerus mempertanyakan takdir yang sudah lama Tuhan buat untuk kita." Aku mencoba menjawabnya dengan tenang, meskipun sebenarnya perasaanku ini mulai tak terkendali saat melihatmu menjadi begitu sakit hati.
"Maaf. Pertanyaan itu memang seharusnya tidak kutanyakan kepadamu, Raa." Air matamu itu mulai menetes ke kemeja birumu. Jujur, aku juga ingin melakukannya, Za. Aku juga ingin mempertanyakan takdir itu lalu menangis bersamamu. Rasanya pasti akan lebih lega, tapi kuputuskan untuk tidak kulakukan hal itu.
"Za, kamu tidak harus datang ke pernikahanku kalau kamu tidak mau. Aku tidak akan memaksamu untuk melihatku terakhir kalinya di altar pernikahan yang bukan kamu mempelai prianya."
"Aku memang tidak akan datang, Raa. Jadi, maafkan aku untuk itu." Itulah kalimat terakhirmu untukku. Setelah mengucapkannya, kamu segera kembali ke rumahmu. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepadamu, Za.
Kemudian saat hari pernikahanku tiba, saat aku duduk di sebelah pria yang bukan kamu orangnya, kamu datang membawa sebuket bunga mawar kesukaanku. Aku melihatmu sedang meletakkannya di meja penerima tamu. Sepertinya, kamu juga menyematkan surat perpisahan di dalamnya.
Setelah itu, kamu melihatku dari kejauhan sambil tersenyum. Kuamati dari gerakan bibirmu, saat itu kamu sedang bilang kalau aku cantik. Aku berusaha membalas senyumanmu itu, tapi aku gagal, Za. Kamu pasti tau kalau aku ingin sekali menangis saat itu sehingga kamu memutuskan untuk segera menghilang dari pandanganku.
Ketika sampai di rumah, aku membuka surat perpisahan darimu. Hatiku begitu hancur saat membaca kalimat terakhir dari surat singkatmu itu. Kalimat itu bahkan lebih menyakitkan dari selamat tinggal, Za.
Aku mencintaimu, Raa. I'll do it till the end, meskipun kamu dengan keras melarangku melakukan kegiatan favoritku itu.
- Raza, di pelabuhan terakhir bersama Raadisya