Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mataku membulat, terkejut sekaligus tidak menduga kalau pria tampan yang tadi jadi bahan gibah antara kami mendatangiku dan mengulurkan tangan.
"Kenalin, Saya Tio. Tadi ngeliat kamu yang bantuin Ibu saya."
"Ah? Kapan?"
"Tadi, waktu di lorong depan Poli Penyakit Dalam."
"Oh, ya. Mmmm ... saya Ara."
Dua teman cewekku langsung pada bisik-bisik, sedangkan satu-satunya cowok yang duduk bersama kami, yaitu Iqbal menatap tajam pada Tio.
"Maaf, bisa minta nomor ponsel kamu? Tadi Ibu saya mo nanya itu, tapi kamunya keburu pergi."
"Perlunya untuk apa?" tanya Iqbal.
Tio menoleh. "Mesti harus jelas dulu ya keperluannya."
"La iya lah. Suaminya dia bisa marah," ucap Iqbal dengan muka lempeng.
"Suami?"
"Iya. Suami. Kamu gak yakin Ara dah bersuami? Anaknya aja udah banyak! Huihhhh ...."
Kami bertiga hanya diam, tapi menatap tak percaya pada apa yang barusan Iqbal ucapkan.
"Kalau begitu maaf," ucap Tio sambil segera berlalu.
Aku menatap Iqbal dengan mata menyipit. "Cowok ganteng begitu, lewat kesempatanku kenalan. Kapan aku punya anak?" sungutku pada Iqbal.
"Aku gak bohong. Anakmu di ruangan Neo ada sepuluh," ucap Iqbal sambil terkikik geli.
"Sialun bin sialin. Tu pasienku, Oon. Okelah, aku banyak anak pas lagi jaga, suami? Kapan aku punya suami?"
"Ah ...." Iqbal terbatuk-batuk dengan sengaja sebelum berucap," segera, Ra. Aku otewe ngelamar kamu. Mau kan?"
"Alamak!" Tari berteriak heboh.
"Cuit, cuit! Tembak langsung, Bal. Ara memang bebal, kaku. Kita-kita aja tahu kalo kamu suka sama dia. Nah dianya ...." Indri mengakhiri ucapannya dengan tertawa.
Mataku membulat makin lebar. Menatap Indri dan Tari yang cekikikan, lalu beralih ke wajah Iqbal.
Serius, tatapan yang dalam dan juga amat sangat yakin.
Entah kenapa jantungku jadi makin cepat detakannya, wajahku juga mulai terasa panas.
Benarkah cinta sudah tiba?