Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sepeda motor mereka terus melaju membelah jalanan. Tanpa sadar, mereka telah sampai di komplek tempat kost mereka berada. Aka hanya memandang pohon-pohon disamping jalan, namun entah mengapa dia tiba-tiba mengingat Rinata. Walaupun tidak terlalu memperhatikannya, dia tentu sering melihat wajah gadis tersebut. Aka akui, Rinata adalah orang yang cukup manis, senyumnya juga ya lumayanlah. Itu hanya penilaiannya secara objektif tentunya, Aka sedang tidak tertarik, apalagi bila mulai dihubungkan dengan hal semacam romansa muda, baginya sekarang itu tidaklah penting.
“Hey Ka! Nampaknya kita ketiban rejeki ni …,” tiba-tiba Obi berceletuk senang.
“Apanya yang rejeki?” pikir Aka.
Dia kemudian mengalihkan pandangan matanya kedepan. Astaga! Ternyata mereka pulang terlalu sore, didepan cukup banyak jamaah perempuan yang menuju mushalla untuk shalat magrib.
“Obi-Obi, masih aja mikir cewek,” batin Aka.
Dia agak panik sebenarnya, bagaimanapun dia masih agak kaku dengan cewek. Walaupun pernah merasakan yang namanya cinta, dia tidak pernah berusaha untuk mendekat, membuatnya kadang bisa saja agak gugup didepan cewek. Ditambah dia dulu bersekolah diasrama yang begitu tegas memisahkan pergaulan cewek dan cowok, sehingga pengalaman dia untuk berteman dekat dengan cewek hampir menyentuh angka nol.
Aka kemudian mencoba untuk menghiraukan situasi itu. Dia hanya memejamkan mata sembari menikmati jemari angin yang mengelus lembut kulitnya.
“Ha ha ha, pasti Rinata pacarku ada disana,” Obi malah berceletuk dengan pede-nya.
Aka hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.
“Enak saja …,” pikirnya. Loh, kenapa dia malah seolah protes?
Ketika Aka membuka matanya, sekeliap dia melihat sepasang mata tersenyum kearahnya. Tanpa sadar karena agak terpesona, Aka semakin ingin melihat jelas senyum itu, hingga akhirnya mata mereka bertemu pandang. Gadis itu menunduk, Aka buru-buru mengalihakan pandangannya pada awan-awan yang berarak di langit jingga. Jantungnya kini bergejolak dengan kacau, seolah sedang mencoba menabrak tulang-tulang rusuknya. Aka yakin sekarang mukanya pasti merah padam. Sejenak dia mengingat kembali senyum itu, lagi-lagi jantungnya bergejolak tak karuan, seperti merespon ingatan barusan. Menarik napas dan mengeluarkannya perlahan, sembari memandang awan dia mencoba menetralkan gejolak jiwanya
“Perasaan yang menyebalkan,” batin Aka sambil memejamkan mata
***
Malam terasa agak dingin, walau begitu Aka masih sibuk dengan laptopnya untuk mengurus tugas kuliahnya. Tapi ada hal yang sedari tadi mengganggunya, kenapa dia terus teringat senyum itu ? Dibaringkannya tubuhnya diatas ranjang, pikirannya sedang tidak normal.
“Senyum itu bukan untukku,” dia terus memikirkan kalimat yang sama berulang kali. Aka tidak mau kege-eran, walaupun hatinya benar merasa senyum itu miliknya. Namun dia tetap tidak mau kege-eran, tidak boleh. Jantungnya mulai berdetak agak keras, telinganya seolah dapat mendengar suaranya dengan jelas. Dalam realita mungkin aneh, tapi sore tadi dia merasa detik menjadi lambat, dan seolah-olah semua organ tubuhnya berhenti sejenak. Tapi dia tidak mungkin merasakan itu lagi bukan, dia sedang tidak menginginkannya.
Dipejamkannya kembali matanya, terbayang lagi senyum dibawah langit jingga tadi. Baru saja Obi membicarakannya diperjalanan, dan dia langsung melihat senyum gadis itu ketika pulang.
“Mengagumkan, apakah ini takdir?” pikirnya mulai berpuitis, atau mungkin sudah mulai kacau.
Dia harus menjilat ludahnya sendiri, Rinata adalah benar-benar gadis yang menarik. Rinata memberikannya momen yang mengagumkan, senyumnya benar-benar membuanya kacau. Tanpa sadar, Aka tersenyum tipis mengingat senyum senja itu. Senyum itu telah menumbuhkan sebuah rasa yang unik, rasa yang telah lama tidak ia rasakan. Rasa yang aneh, rasa yang dapat datang tiba-tiba, bahkan disaat kita tidak menginginkannya.
“Apa aku harus kembali mengenal cinta?” batinnya bertanya sembari terpejam.