Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ini hari keberuntunganku.
Aku melihat sepotong coklat kesepian yang tergeletak di tepi jalan. Kemasannya yang berwarna keemasan berkilau-kilau, pesonanya mengalahkan aroma tahi ayam yang berserakan dipinggirnya. Sumpah! aku tergoda tuk mencicipinya. Liurku tak bisa berhenti menetes. Wahai coklat, selezati apakah rasamu? seumur hidup aku belum pernah mencicipimu.
Namaku Sultan Richman. Bocah tujuh tahun yang terbiasa dengan kemiskinan. "Rich" dalam namaku hanyalah harapan bundaku supaya aku jadi orang sukses dan mapan. Orang tuaku pemulung profesional. Bahkan keluarga ayahku sudah mulung tujuh turunan. Mereka seperti pesulap, piawai merubah sampah-sampah Jakarta jadi pundi-pundi rupiah. Sialnya, aku turunan kedelapan. Bunda selalu berharap aku dan adikku Cinta tak jadi pemulung. Dia ingin kita menjadi sarjana, supaya bisa jadi PNS, padahal mimpiku jadi Youtuber.
Back to the Chocolate.
Sudah dua belas jam aku meninggalkan coklat sexy itu disana. Kuharap Sang Surya tak melelehkannya, dan sang coklat tak dicuri gembel-gembel nakal yang kelaparan. Aku menyesal meninggalkannya. Ragaku terlalu sibuk mencari sesuap nasi, walau jiwaku terus menginginkan sang coklat.
Orang miskin itu banyak kerjaan. Aku harus membantu Mamah dan Papah berburu harta karun di TPS, setelahnya, aku berjualan koran di lampu merah. Soal kerja, Aku jagoan andalannya. Soalnya, Cinta sakit-sakitan, ia selalu terkulai lemas di rumah. Mamah tak punya uang tuk merawatnya ke dokter, hanya mukjizatNya lah yang bisa menyembuhkannya.
Sepuluh jam aku terpanggang terik Sang Surya, tapi hasilnya zonk. Aku cuma dapat sepuluh ribu perak. Jualan koran semakin susah, sekarang jarang orang beli koran, semuanya serba digital. Walau sedikit tapi berkah. Kubelikan uang itu sekilo beras, supaya bunda dan cinta tak kelaparan.
"Mah, ini beras buat makan!" Aku menyerahkan beras ke ibunda. Mamah tersenyum bahagia.
"Mah, Sultan pergi dulu ya?" Aku berpamitan"Ada bisnis!" kataku. Padahal aku pergi demi sepotong coklat.
"Awas ya, jangan ngelem!" pinta Mamah.
"Siap!"
Tuhan maha baik. Sang coklat masih ada di sana, duduk manis menungguku. Sepertinya kita berjodoh, karenanya tiada gembel yang mencuri, dan ayam-ayam yang berani mematuknya.
Aku berlari dengan gesit lalu mengambilnya. Coklatnya kotor dan berdebu, tetapi setidaknya tak ada tahi ayam yang menempel. Bagiku yang terbiasa makan roti basi, coklat ini layak di makan.
"Fuuuh" Kutiup mesra coklat itu pelan-pelanlahan lalu kusapu dengan tangan supaya bersih. Aku pun mulai berdoa, "Bismillahirohmanirohim."
Kugigit ujung coklatnya dan "Krek" coklat meleleh dimulutku. Rasanya luar biasa : manis, lembut, dan candu. Sekarang aku paham kenapa anak-anak orang kaya selalu merengek-rengek hanya karena sebongkah coklat, dan mainan di mini market, ternyata coklat bisa membuatmu bahagia.
"Cinta harus bisa merasakannya."
Kumasukan coklat ke dalam saku lalu kubawa pulang ke rumah. Aku masih lapar, tapi demi Cinta aku rela. Coklat ini untuk Cinta yang senyumnya semanis coklat. Kuharap ia sembuh dan bisa tersenyum seperti sedia kala.
"Cinta i'm coming!" ucapku tersenyum.
Sesampainya di rumah, kudengar jeritan bunda. Dia menangis melihat Cinta yang sudah tak bernyawa. Speechles.Cinta meninggal tanpa pernah merasakan manisnya sepotong coklat.
Semenjak kematiannya, aku jadi rajin sholat, berhenti ngelem, dan rajin bersedekah. Supaya aku bisa berjumpa kembali dengan Cinta di surga. Aku ingin bisa bercerita paddanya tentang betapa nikmatnya sepotong coklat yang kumakan kala itu.
12 jam terasingkan, dan berharap Sang Surya tak melelehkannya, aku penasaran setebal apa coklatnya?!