Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ini bukan seperti aku menyukainya. Aku tidak mengenalnya. Aku tidak pernah mengobrol dengannya. Aku hanya tahu siapa namanya. Tak tahu ia tinggal di mana. Di kelas ia terlalu pendiam. Tak ada yang berani mengajaknya bicara duluan. Ia bagai Red Beryl yang tersimpan dalam kaca dan dikelilingi senjata mematikan sehingga tak satupun penjahat berhasil mencurinya. Namun ada sesuatu dalam mata birunya. Aku juga baru mengetahui bahwa ia memiliki warna mata yang berbeda. Saat itu aku tak sengaja menatapnya. Mataku seolah beku kala menghadapnya. Kami hanya satu menit berpandangan. Sangat sebentar bukan? Ia yang mengakhiri duluan. Pergi begitu saja dari mataku yang mulai dahaga. Aku ingin melihatnya lebih lama. Ia benar-benar sialan. Lain kali aku tidak akan membiarkannya berbuat seenaknya.
Esoknya ia tidak masuk. Profesor Martha bilang ia sakit. Hanya sampai situ informasinya. Profesor tidak memberitahu apa penyakit si mata biru. Aku tak tahan dengan rasa penasaran yang begitu menggigit. Aku menemui bagian administrasi, menanyakan alamat si mata biru. Aku bilang aku ingin menjenguknya dan meminjamkan catatan pelajaran hari ini. Kupikir Mr. Kevin seperti memberikan alamat palsu. Tempat yang ia katakan begitu asing. Aku tidak yakin ada nama tempat seperti itu di kota kecil ini.
“Terima kasih Mr. Kevin.”
Mr. Kevin kembali melanjutkan tarian jemari yang malas di atas keyboard. Ponselku bergetar dalam genggaman. Aku menjawabnya. Itu dari Lala.
“Iya La.”
“Aku barusan melihatnya.”
Ujar Lala. Saat aku bertanya siapa. Lala bilang si mata biru. Aku segera menyusul Lala. Lala melihat si mata biru di perpustakaan kota. Si mata biru sedang membaca di depan rak sejarah. Kenapa ia membolos? Apa ia tahu rencanaku yang ingin mendekatinya?
“Hei kau!”
Lala benar. Ia masih membaca di depan rak sejarah. Ia sudah tidak berdiri. Ia duduk di belakang meja bundar. Mungkin ia menyadari bila terlalu lama berdiri membuat kakinya lelah. Ia tidak mendengar panggilan yang sengaja kupelankan karena petugas perpustakaan yang galak. Sebab Nyonya Ros tidak akan segan-segan mengusir pengunjung yang berisik dengan tongkat kayu.
Si mata biru akhirnya merasakan keberadaanku. Ia menoleh, namun--
“Tidak! kemana perginya?”
Aku melotot tak percaya. Warna matanya kini sama denganku. Cokelat muda. Ia tidak menjawab. Justru menyeret paksa tanganku sampai ke pojok. Di sini jauh dari jendela sehingga agak kelam.
“Apa maksudmu?”
Ucapnya kasar. Aku membenci nada bicaranya namun aku tetap tidak bisa melupakan mata birunya.
“Warna matamu berubah!”
“Kau berhalusinasi. Dari lahir warna mataku memanglah seperti ini.”
“Pembohong!”
“Terserah.”
Lagi-lagi ia pergi. Aku balas menarik tangannya sekuat yang aku bisa. Ia melepas tanganku dengan mudah. Sepertinya ia marah. Auranya menggelap, sedikit membuat nyaliku menciut. Ia terus mendekat, memaksaku mundur hingga punggungku menempeli dinding berdebu.
“Apa yang kau inginkan sebenarnya?”
Ia bertanya seolah aku adalah ancaman yang berniat merebut sesuatu darinya. Seketika aku merasakan dingin sebagaimana musim yang datang di bulan Desember. Padahal ini masih Agustus. Aku menggigil. Si mata biru tampak baik-baik saja. Wajah sombong nan menyebalkan. Aku ingin mengumpat namun tidak bisa. Lidahku terhalang gigi yang bergemeretak.
“Kau baik-baik saja?”
Ia tersenyum licik. Matanya terpejam sebentar. Aku terus mengamati wajahnya dari dekat. Lantas kembali membeku sebab kelopak matanya mendadak terbuka. Kali ini birunya lebih terang dari yang kulihat sebelumnya. Sinarnya terlalu berlebihan. Aku tidak sanggup menanggungnya. Kemudian semuanya gelap. Tulangku melemas. Sesuatu yang lunak menempel pada bibirku yang dingin. Si mata biru mencuri ciuman pertamaku. Bersamaan dengan itu suhu tubuhku kembali normal. Sayangnya kesadaranku tidak.