Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bagaimana jika Didu terbebas dari utangnya? Debt collector berhenti mengejarnya. Berarti berhenti pula semua teror yang selama ini mencengkrammu. Setelah itu, hidupmu aman damai kembali.” Suara Jino lirih penuh intimidasi. “Aku punya jalan keluarnya.” Lelaki kerempeng ini lekat menatap Ova, gadis lawan bicaranya sore itu.
“Tapi Didu abangku satu-satunya. Kalau kau bawa dia ke alammu. Bagaimana urusan akhirat kami nanti?” Gadis itu memandangi wajah Jino penuh tonjolan tulang tak beraturan. Dibungkus kulit tipis berkeriput, nyaris tanpa daging. Kelopak mata kirinya mendekati telinga. Lebih kecil dari mata kanannya, yang melotot menguasai tengah kening. Ova menahan napas. Wangi bunga tabur menyertai lelaki ini. Menyamarkan bau nanah busuk, menguar dari luka di ujung hidungnya yang bolong menganga. Ingin muntah Ova rasanya. Namun dia terus beristighfar dalam hati, menenangkan bulu tengkuknya yang kian meremang. Jino tak memiliki filtrum, garis lekukan vertikal di antara hidung dan bibir. Entah makhluk apa Jino ini. Ova harus mampu menguatkan hati.
“Didu tidak peduli kehidupannya di sini, apalagi akhiratnya. Dia juga tidak peduli, apakah kelakuannya merugikanmu, atau mencelakakanmu. Kamu cuma jaminan buat utang-utangnya. Setelah kamu lelah menjadi ATM-nya. Dia lebih peduli uang daripada keselamatanmu. Buat Didu, uang tidak mengenal saudara.” Suara Jino tetap lirih, tapi perih menusuk. “Di alamku nanti, kuajari Didu hidup tanpa uang. Kami tidak mata duitan. Manusialah yang meng-uang-kan hidupnya.”
Tercekat rasa tenggorokan Ova, omongan Jino banyak benarnya. Sepeninggal kedua orang tua mereka, Didu berubah menjengkelkan. Dia tidak pernah bekerja lebih dari tiga bulan di tempat yang sama. Bukan karena dia bodoh atau tidak mampu. Didu sangat pandai memalaskan dirinya. Jika orang lain dapat mengerjakan, kenapa harus bersusah payah dia pikirkan, atau selesaikan? Selain itu Didu pakar mengabiskan waktu, seharian bermain gawai adalah spesialisasinya. Piawai pula dia melepas penat di panti pijat plus-plus. Atau memanjakan diri clubbing semalaman sampai subuh.
Dengan gaya hidup yang pandai-pandai pandir ini, walau Didu mendapatkan dua pertiga warisan orang tua mereka, semua ludes dalam sekejap tiada sisa.
Lalu mulailah Didu mengganggu kehidupan Ova.
Awalnya, Didu meminjam uang sekedarnya. Ova mengikhlaskan. Namun, keikhlasan ini berangsur menjadi kewajiban bantuan rutin bulanan, yang besarnya Didu tetapkan. Ova pun menolak. Jino benar, dia dianggap ATM. Abangnya ini hanya ahli menghabiskan uang. Dia bebal tidak peduli, bagaimana sulitnya mencari dan mengumpulkan uang. Sementara Ova harus mengurus hidupnya sendiri dan masa depannya.
Ketika si adik berhenti menyantuni, Didu tak kehabisan akal. Masih banyak saudara, teman, badan usaha legal, sampai pinjaman liar, yang sudi membantunya. Berutang tanpa membayar, gali-tutup lubang, sudah menjadi gaya hidupnya. Kalau akhirnya Didu terjebak pada pinjaman lintas alam, seperti hubungannya dengan Jino. Lalu tega mengorbankan Ova. Buat Didu, itu bukanlah masalah besar. Bukankah life must go on?
“Sebetulnya Didu sudah menawarkan jiwamu sebagai pelunas utang-utangnya.” Jino berbisik. “Tapi aku kasihan padamu.” Jino menunduk. “Sekarang, kamu kuberi pilihan. Merelakan Didu ikut aku? Atau kamu siap menggantikannya?”
“Lebih baik kami masuk penjara, atau dihukum di sini. Daripada kau bawa kami ke alammu.” Terdengar gemerutuk gigi Ova menahan geram.
“Cut. Cut.” Teriak asisten sutradara. “Scene 17, hari ini cukup. Besok lanjut lagi Scene 21. Terima kasih.”
***
Bumi Biru, 12 Maret 2023.