Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“AYO, dong, Sayang. Nggak biasanya kamu menolak diajak jalan. Kamu kenapa, sih?” kata Sally.
“Maaf, aku lagi nggak mood. Perutku rasanya nggak enak gara-gara makanan yang kamu beli kemarin,” jawabku.
Tapi Sally tampak tidak peduli dengan keadaanku. Ia tetap saja menarik tubuhku untuk bangkit. Tapi aku mencoba menepis tangannya. Aku masih ingin berbaring.
“Kamu benar-benar nggak mau, ya? Udah nggak sayang sama aku?” ia melepaskan tangannya dari tubuhku.
“Aduh, bukan begitu. Ini benar-benar karena perutku. Kamu tahu kan, kalau aku paling sayang sama kamu? Kalau nggak, mana mungkin aku mau menemani kamu ke mana-mana, menjadi tempat curhatmu saat kamu down, dan menjagamu dari cowok-cowok norak kos sebelah yang selalu menggodamu itu.”
Sally memalingkan mukanya. Sepertinya ia merajuk. Yah, begitulah kalau anak bungsu, masih ada sifat-sifat manjanya meski sudah usia remaja, merasa paling disayang oleh orang tuanya.
Sesaat kemudian Sally memandangi diriku. Pandangannya menyiratkan dia tengah merencanakan sesuatu. Sally mendekat dan mengelus kepalaku. Lalu tiba-tiba ia beranjak meninggalkan aku begitu saja.
“Sally, kamu mau ke mana?” teriakku. Tapi dia tetap berjalan keluar kamar dan menutup pintu cukup keras.
“Sally! C’mon!”
Duh, dia benar-benar tidak paham dengan ucapanku atau memang tidak peduli dengan keadaanku? Aku kan menolak ajakannya baru sekali ini. Sebelumnya tidak pernah sekali pun aku menentangnya. Makan bersama, berenang bersama, atau bertemu dengan teman-teman kuliahnya. Bahkan, kalau mau dibandingkan, akulah yang lebih sering mengajaknya jalan, dan dia yang kadang menolak.
Lima belas menit berlalu, dan Sally tidak juga kembali.
Gawat, dia marah. Maaf, Sally, aku dengan berat hati mbalelo kali ini. Aku berjanji hanya kali ini saja. Rasa sakit dan mual di perutku ini benar-benar tak tertahankan. Kamu harusnya memahami itu. Kita hidup bersama kan tidak dalam hitungan bulan. Sudah hampir dua tahun, dan aku selalu setia. Tidak pernah mendua.
Lalu, tepat di menit ketiga puluh sejak dia meninggalkanku, pintu kamar terbuka. Sally masuk dengan membawa kantung belanja. Dia tersenyum kepadaku. Ah, lega rasanya. Dugaanku keliru, ternyata dia tidak marah padaku.
“Sally, dari mana kamu?” tanyaku.
“Iggy, maaf ya, aku tadi agak memaksa mengajakmu jalan tanpa memedulikan kondisimu yang masih sakit.”
Sally lantas menunjukkan isi tas belanjanya. Rupanya tadi dia pergi membeli barang-barang keperluan harian. “Setelah belanja tadi aku mampir ke dokter langganan kita,” katanya. “Aku langsung minta obat untuk sakit perutmu. Mudah-mudahan dengan ini kamu cepat pulih dan kita bisa kembali jalan-jalan.”
“Terima kasih, Sally. Aku juga minta maaf sudah berburuk sangka padamu tadi.”
Sally mencium keningku sambil mengelus kepalaku. “Love you, Iggy,” ucapnya.
“Love you more, Sally,” jawabku.
Keesokan harinya, aku sudah merasa bugar dan sehat. Obat dari dokter itu sungguh ampuh. Saatnya aku mengganti momen kebersamaanku dengan Sally yang gagal kemarin. Aku dekati Sally yang masih tertidur dan mencoba membangunkannya.
“Sally, ayo kita jalan!”
Sally memutar tubuhnya, membuka matanya, dan tersenyum kepadaku. “Hmm… Iggy, kamu sudah sehat? Oke, kita jalan-jalan, ya. Aku cuci muka dulu.”
“Iya, dong!” kataku lalu menjilati wajahnya. Sally tertawa kegelian.
“Sudah, Iggy, sudah... Iya, aku bangun.”
Gembiranya hatiku menunggu Sally mencuci muka dan menyiapkan harness untukku. Kugoyang-goyangkan ekorku dengan penuh suka cita.
***