Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pria itu sudah berdiri di sana sejak 60 menit yang lalu, tapi tak sekalipun ia melirik kursi kosong di sebelahku. Pria berjaket kulit di sebelahnya lebih lama lagi, lebih 30 menit dari pria sebelumnya, dan juga terlihat enggan menempati kursi kosong di sebelahku.
Tak hanya hari ini, kemarin juga. Saat itu aku sedang menumpang sebuah bus menuju kantorku di pusat kota. Seperti setiap pagi di kota ini, bus akan penuh sesak saat itu. Aneh, saat itu tak juga ada yang mau duduk di sebelahku. Padahal kursi itu nyata-nyata kosong. Tak cuma kemarin, hari-hari yang lalu juga. Tak hanya di sini, tetapi juga tempat-tempat publik lainnya. Aku mulai cemas. Apakah wajahku begitu buruknya bagi mereka?
Agaknya tidak demikian, buktinya, pria di kursi sebelah sisiku yang lain terlihat biasa saja. Lagipula aku mengenakan penutup wajah sekarang.
Ya, ada bekas jahitan panjang melintang di pipi kiriku akibat kecelakaan lalu lintas 3 bulan lalu. Rasa sakitnya sudah tak seberapa, tetapi bekas luka itu masih ada. Hari ini aku kembali mengisi antrean di rumah sakit langgananku untuk check-up kali terakhir.
"Tuan Arman," suara pramutamu memecah lamunanku. Aku segera memasuki ruang praktik.
"Check-up rutin ya, Tuan Arman?"
Bukan Dokter Tian yang menyambutku di ruang praktek itu, melainkan dokter wanita berparas cantik.
"Ya. Terakhir," jawabku kikuk.
"Dokter Tian sedang tak enak badan," celetuk dokter berambut keriting itu, menyadari gelagatku yang canggung. "Beliau juga sudah cerita tentang Anda. Termasuk check-up rutinan Anda hari ini. Oh, perkenalkan, saya Gita."
Bibirnya melengkung, diapit oleh dua cekungan di sudut pipinya. Aku rasa pandanganku terjepit pula di antara dua cekungan itu.
Lalu pemeriksaan berjalan tanpa catatan, kecuali jantungku yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Sayangnya, ini check-up terakhir. Kuharap akan ada kesempatan lain untuk menemui dr. Gita. Oh, sebelum itu seharusnya aku berharap ia masih lajang. Ya, semoga.
"Baiklah," katanya, berdiri. Aku turut berdiri. "Ini resep terakhir Anda. Jangan lupa dihabiskan ya!"
"Tentu, Dok," aku menyahut saja tanpa benar-benar berpikir. Pandanganku terpaku pada matanya, terjebak dalam bola mata bening yang semakin mendekat ke arahku. Semakin dekat dan dekat sampai jarak kami hanya tinggal dua jengkal.
"Seperti cerita Dokter Tian," ia berbisik padaku, "Anda punya istri yang sangat cantik."
Dokter jelita itu berlalu, ia meraih lemari es di belakangku untuk menegak sebotol air mineral dingin. Namun aku masih bergeming di tempatku, terpaku. Perasaanku campur aduk antara bingung, sedih dan takut.
"Istri?" Aku bertanya-tanya dalam hati.
Ya. Aku ingat. Ia Lastri. Gadis yatim piatu yang aku nikahi 6 bulan lalu. Aku ingat. Lastri juga ada di sana. Di hari kecelakaan itu terjadi. Ia duduk tepat di sebelahku, di samping kursi kemudi. Kami sedang berbincang seru sebelum sebuah truk menghantam kami dari arah depan. Aku ingat. Aku ingat darah mengucur deras dari kepalanya. Mata Lastri yang indah tak akan lagi pernah berkedip.
Pandanganku perlahan redup, persis seperti hari nahas itu. Pandanganku benar-benar gelap sesaat setelah melihat dr. Gita menyuguhkan sebotol air mineral ke udara kosong; ke kursi kosong di sebelahku!
Lalu semuanya gelap. Gelap.
"Aku berjanji, aku akan selalu setia di sisimu!" Janji itu terngiang-ngiang