Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Gimana? Masakanku enak nggak rasanya?"
"Seperti biasa. Selalu enak."
Sang istri terdiam beberapa saat dan terus memandang wajah suaminya yang sedang lahap menikmati sarapan sederhana sebelum kerja.
"Kamu nggak makan?" tanya sang suami ketika tatapan mereka bertemu pandang.
"Nanti aja. Nunggu Mas berangkat. Kalau aku juga makan nanti aku nggak konsen, deh."
"Eh ... nggak konsen apa? Emangnya kamu lagi ngapain?"
Terdengar tawa kecil dari keduanya. Sang istri tetap tidak menjawab. Sementara si suami pun lupa bertanya ulang.
"Ya sudah. Aku berangkat dulu, ya." Sang suami menenggak teh manis hangat yang tinggal setengah. Kemudian ia langsung menyangklong tas kerjanya. Sang istri menyertai hingga pintu depan.
"Hati-hati, ya Mas."
"Iya. Kamu juga hati-hati di rumah. Jangan lupa matiin setrikaan, kompor, atau apapun kalau mau ditinggal," pesan sang suami sambil mengulurkan tangan kanannya yang segera disambut dengan kecupan hangat sang istri.
"Hati-hati, ya, Mas."
"Iya, kamu mau bilang berapa kali?" Lelaki itu tertawa lagi.
"Beneran, lho, hati-hati."
Sang suami geleng-geleng kepala. Ia lekas mengecup kening sang istri.
"Oh iya, earphone-ku mana, ya?" Sang suami merogoh-rogoh saku tas. Terus mencari hingga ketemu.
"Duh, nggak usah pake gituan ah. Ngapain, sih, Mas?"
"Kamu tuh nggak ngerti gimana bosennya di dalam kereta. Cuma benda itu yang bisa nemenin aku. Sambil denger lagu kesukaanmu."
Wajah sang istri bersemu merah, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan kegusarannya. "Udah, lah, Mas. Berangkat aja. Nggak usah pakai earphone hari ini. Ya, please!"
"Ketemu!!!" Sang suami mengangkat tinggi-tinggi benda itu. Lalu memasangnya di telinga.
"Dah ya, aku berangkat. Kamu mau dibawain apa?"
"Hati-hati," tegas sang istri tanpa memedulikan pertanyaan suami.
"Ya sudah. Bye."
Sang istri memandangi suaminya sampai menghilang di ujung jalan.
Entah kenapa aku ingin menangis. Rasanya ingin sekali aku memandangi wajahnya terus-menerus. Seperti saat di meja makan tadi.
***
Terdengar peluit panjang commuterline tujuan Tanah Abang. Para penumpang berlarian menyerbu kereta. Jauh dari situ, seorang lelaki justru bersepeda motor santai dan bernyanyi pelan di persimpangan perlintasan pintu kereta. Namun jelas sekali lagu yang didengarnya di telinga itu jauh dari kata pelan. Lelaki itu menyeberangi rel untuk mempersingkat waktu. Tanpa tengok kanan-kiri. Padahal jelas sekali dilarang, palang pintu pun sudah setengah jalan. Orang lain yang melihat berusaha berteriak sekencang mungkin.
Sayang.
Lelaki itu tak dengar. Hanya lagu kesayangan istrinya yang ia dengar.
Kemudian, ia tak dengar apa-apa lagi.