Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Daisy menyirami bunga di taman kecil belakang sekolah. Jumlah siswa yang datang ke sini sangat kurang, mungkin karena jaraknya yang sangat jauh ke belakang. Bahkan tukang kebun juga jarang merawat taman ini. Hanya Daisy yang merupakan pengunjung setia. Ia pun menawarkan diri untuk merawat taman kecil yang hampir mati ini.
Daisy memang sering ke sini ketika ingin menenangkan diri. Segala keresahannya ia curahkan pada setiap bunga yang ia rawat. Terutama bunga 'kembarannya', Daisy. Kali ini pun Daisy melakukan hal yang sama. Ia duduk di hadapan bunga Daisy, lalu mencurahkan isi hatinya.
"Sepertinya aku harus mengikuti saran istri ayah. Memar di tubuhku mungkin akan berkurang begitu aku pergi. Semuanya akan damai jika aku meninggalkan kehidupanku yang tidak berguna ini. Benar, kan?" lirih Daisy sambil tersenyum getir.
"Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya aku tidak pernah melakukan sesuatu yang benar, ya. Apapun yang kusentuh akan bermasalah. Makanya tidak ada siapa pun yang membutuhkanku. Teman-teman bahkan menyebutku 'kesialan berjalan'." Daisy tertawa hambar.
Teng! Teng! Teng!
Bel istirahat telah berakhir. Sudah cukup curahan hati hari ini. Daisy pun beranjak dari duduknya dan hendak ke kelas. Namun, sebuah suara menginterupsinya. Suara kecil yang hampir menyerupai bisikan.
"Daisy!"
Daisy menoleh, menatap bunga Daisy yang jadi tempat curhatnya tadi. Meski bisikan, ia yakin bahwa suaranya berasal dari sana. Mungkinkah ....
"Ei ... mustahil. Enggak mungkin ada hantu di bunganya. Sepertinya aku terlalu stress sampai berhalusinasi."
"Ehem! Sebenarnya kau tidak berhalusinasi, sih, tapi bagian hantu itu tidak benar. Aku bunga sejati sejak lahir tahu!"
Daisy mengerjabkan mata perlahan. Berkali-kali ia menyentuh daun telinganya sendiri, memastikan ia tidak salah dengar. Meski bisikan, tapi suaranya terdengar jelas di telinga Daisy.
"Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kau dibutuhkan di taman ini. Aku dan teman-temanku tidak jadi mati karena kau merawat kami. Bisa-bisanya tadi kau mengatakan bahwa apapun yang kau sentuh akan bermasalah. Buktinya kami sehat-sehat saja, tuh.
"Meski kami tumbuhan, tapi itu juga berlaku untuk manusia. Akan ada saatnya kau bertemu dengan manusia yang membutuhkanmu. Atau mungkin kau sudah bertemu dengannya, hanya saja kau belum sadar. Jadi, tolong, berhentilah merendahkan dirimu sendiri."
"B-begitukah?"
Bunga Daisy mengangguk. Entah itu anggukan dari bunganya, atau angin yang membuatnya bergerak seolah-olah mengangguk. Omong-omong, berbicara dengan bunga akan masuk dalam daftar hal aneh yang pernah Daisy alami.
Daisy teringat sesuatu, ia lalu berlari menuju kelas meninggalkan bunga Daisy yang mungkin menunggu tanggapannya. Namun, ada ulangan harian biologi setelah jam istirahat. Itu sama sekali tidak bisa diabaikan. Lagi pula dia tidak boleh terlambat di mapel guru killer ini.
Tak lama, Daisy sampai di kelas. Di depan telah berdiri seorang wanita paruh baya dengan tatapan mengintimidasi. Daisy menciut. Apa ia akan dimarahi lagi kali ini seperti yang kemarin-kemarin?
Mendadak seorang siswi—yang merupakan teman sebangku Daisy—mengacungkan tangan. Ia mengatakan kepada guru biologi bahwa Daisy baru balik dari toilet karena sakit perut. Dengan alasan sederhana itu, Daisy pun diizinkan untuk mengikuti kelas. Dirinya lalu duduk di samping siswi tadi.
Si siswi berbisik, "Aku membutuhkanmu lagi di ulangan kali ini."
Ah, apa ini yang dimaksud bunga Daisy tadi? 'Membutuhkanku'?
***