Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rakyat Papua dirundung gelisah. Pedesaan di sekitar pesisir Lae dihebohkan oleh sekawanan binatang muncul membunuh banyak lelaki, wanita, orangtua dan anak-anak yang tengah bermain lewat sore hari. Selebaran setan itu terbang mengeluarkan cahaya pada matanya di malam hari. Penduduk menyarankan agar mereka menghindari kebiasaan di luar pada hari gelap, namun masih banyak yang melakukan kegiatan yang mengantarkan mereka pada kecelakaan. Mereka menyalahkan para korban hingga banyak warga setempat yang berselisih paham. Jika mereka bunuh binatang itu akibatnya mungkin akan mengakibatkan ketimpangan alam. Mereka berwaspada, ini merupakan pertanda yang harus mereka terima dengan bijaksana mengingat rawan bencana alam yang mengintai daerah-daerah pesisiran akhir-akhir ini. Namun, tetap banyak lelaki kuat memberanikan diri masuk ke hutan untuk membunuh binatang-binatang itu, hanya saja kesediaan mereka masih kurang. Binatang itu masih terus berdatangan, kadang memakan nyawa pemburu. Sebagian warga telah putus asa, hingga akhirnya ketua adat turun tangan.
“Binatang itu tengah mencoba mempertahankan diri, karena kondisi alam saat ini mengancam kepunahan mereka. Itu sebab dari tangan-tangan kita sendiri!” kata seorang warga yang cukup alim di antara mereka.
Ketua adat pun mengetukkan tangan di meja. “Binatang itu memiliki kekuatan dan mereka mencoba mengimbangi kekuatan yang membuat ketimpangan alam!”
“Taklukkan mereka!” seru anak-anak suku dengan kobar semangat persatuan.
Perburuan monster terus berlanjut, binatang yang telah berhasil mengembang biakkan hidup mereka kini menjadi musuh bagi warga Lae. Kepala adat memerintahkan anak-anak kesukuannya untuk berkumpul di rumahnya, ia menyuarakan keprihatinan tentang ketidakharmonisan yang terus mengganggu keserasian dan keamanan etnis. Menurutnya, peperangan melawan ropen itu harus dimulai dari diri mengembalikan kesadaran kolektif akan perdamaian di antara anak-anak suku mereka yang mengalami perang saudara.
“Kita harus bertindak dengan hati-hati menyikapi fenomena alam yang akan merenggut kehidupan kita! Ropen itu datang pada kesempatan hanya selagi jiwa kita kosong dipecah belah oleh selisih. Mereka mengintai orang-orang yang lemah, yang pikirannya tidak berjaga-jaga. Selama kita masih belum menemukan teknologi yang aman bagi lingkungan, apapun bisa terjadi! Maka, pentingkanlah hari ini. Jika perang antar saudara dibiarkan terus berlanjut, maka kita akan hancur pada satu hari, maka musnahlah kita semua. Adat yang musnah, keyakinan yang musnah. Lalu, apa yang bisa kita sampaikan pada keturunan kita? Apa yang bisa kita pertanggung jawabkan pada leluhur kita?”
Seruan anak-anak suku berombak menjawab, membenarkan. Tangan-tangan mereka terangkat.
“Mari kita bangkitkanlah semangat kebersamaan! Jika masing-masing dari kalian ingin memerangi selebaran setan itu, bersatulah dalam mengambil kekuatan mereka, maka Lae akan tetap berada di tangan manusianya saat ini,” kata ketua adat yang religius itu dengan bijak.
Ombak suara itu kemudian menyerukan semangat kembali.
Tak lama sejak itu, penyerbuan dilakukan. Beberapa awak prajurit andalan yang tangguh diluncurkan ke hutan, ladang-ladang dan sungai. Lecutan senjata anak panah dilepaskan di beberapa tempat yang teridentifikasi sebagai sarang-sarang ropen. Pancingan dan jebakan dibuat untuk mengundang makhluk langka mengerikan itu kepada kematiannya.