Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nada dering ponselku menyeruak seisi ruangan kerjaku. Ku beranjak mengangkatnya, disana tertera ibu yang memanggilku.
“Halo? Hanum? Sedang apa nak?”
Ibu sangat antusisas sekali, tidak seperti biasanya, tehitung hampir setiap malam, telepon ibu seperti temanku selama bulan ramadhan tahun ini.
“Hanum sedang bekerja bu.”
“Kerja? Kamu sudah buka kan?”
“Sudah, barusan saja. Ibu, ada apa menelpon hanum?”
“Emm ... Hanum, nggak lupa kan lusa sudah hari lebaran. Hanum kapan mau pulang?” Suara ibu memelan, terdengar ada permintaan, harapan serta ketakutan bercampur kesedihan. Sebenarnya aku juga sedih, karena lagi-lagi aku tidak bisa pulang kampung lagi. Sedihnya, karena aku terhalang pekerjaanku.
“Ibu, maafkan Hanum...”
Uhuk-uhuk...
Aku terhenti ketika mendengar suara batuk ibu. Entah itu suara sinyal yang menjadi kendala telepon kami atau memang benar suara batuk ibu aku tak tahu. “Sebentar, ibu batuk? Ibu sedang sakit?”
Ibu diam tanpa menjawab. Aku menatap layar teleponku. Disana ibu mematikan mic teleponnya. Aku menunggu sejenak. Sesaat itu ibu menghidupkan mic teleponnya kembali dan tertawa.
“Maaf ya Num, tadi ibu tinggal sebentar.”
“Ibu sama Dek Nisa sehat kan?”
“Sehat ndukk ... Ibuk sedikit batuk saja. Nggak papa kok.”
“Syukurlah, ibu, Hanum bener-bener nggak bisa pulang tahun ini. Hanum lebaran disini.”
“Yasudah ndak papa. Hanum, ibu selalu mendukung Hanum. Ibu cuman rindu ketika malam takbir kita sekeluarga makan malam bersama. Hanum, sejauh kemanapun kamu melangkah, ingatlah untuk pulang ke rumah yang menjadi awal jalanmu melangkah Nak.” Suara ibu terdengar bergetar. “Yasudah, Hanum, ibu matikan telponnya yaa.”
Ibu mematikan telponnya. Aku merasa bersalah karena tidak pernah pulang untuk merayakan lebaran bersama ibu dan adikku satu-satunya. Aku merasa telah melupakan rumah. Malam itu aku gusar, antara pulang atau melanjutkan pekerjaanku.
Aku beraktifitas seperti biasanya. Masih berkutat dengan layar monitor di ruang kerjaku. Sepanjang hari sampai petang mengundang aku pun masih sibuk berkutat dengan pekerjaanku.
Ting tung ting tung
Bel apartemenku berbunyi, segera ku kedepan dan mengambil catering masakan lebaran yang biasa ku pesan. Memang terasa sepi jika lebaran di perantauan. Sekalian, aku bergegas untuk menyiapkan menu buka puasaku aku mulai membuat teh hangat.
Teleponku berbunyi, kali ini ku lihat, ibu menelponku. Tumben tidak sehabis buka puasa. Pikirku.
“Halo ibu, Hanum sedang menyiapkan buka puasa.” Aku melihat layar ponselku kembali, nyaris tak ada jawaban, malah terdengar suara riuh seperti banyak orang. “Ibu sedang dimana sih? Banyak orang, Hanum tidak bisa dengar suara ibu. Ibu, Hanum sepertinya tidak bisa pulang kampung dan merayakan lebaran bersama ibu dan dek Nisa tahun ini. Hanum...”
“Halo? Mbak Hanum?” Kali ini bukan ibu, namun suara Nisa yang terdengar ditelingaku.
“Dek Nisa?” Aku memastikannya kembali.
Suara Nisa bergetar, suara riuh banyak orang juga terdengar disana. “Mbak, ibu... “ Nisa sesenggukan.
“Kenapa ibu?”
“Ibu, ibu sudah nggak ada mbak.” Suara tangis Nisa pecah. Sementara tubuhku mendadak lemas, hatiku bergetar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku menyesal, seandainya aku mengabulkan permintaan ibu untuk pulang tahun ini, mungkin aku bisa merasakan kebersamaan bersama ibu untuk terakhir kalinya, aku bisa menikmati hangatnya kebersamaan menyiapkan menu buka puasa dan sahur bersama ibu. Ibu, maafkan Hanum, Hanum akan pulang.
Selesai