"Masih banyak ikan di laut"
Ucap Paman mencoba menghiburku yang murung karena tambatan hatiku di sekolah baru saja jadian dengan anak pindahan yang tidak tahu diri. Paman mengajakku ke pemancingan favoritnya. Katanya memancing bisa menenangkan pikiranku dan sensasi berhasil menangkap ikan akan membuatku lebih baik.
Namun, sudah setengah jam kupandangi pelampung pancinganku tenang di permukaan empang yang hijau. Kutengok di kolam sebelah, Rival Paman di pemancingan ini sudah mendapatkan ikan seember.
Aku melihat Paman kesal, tetapi tidak mau mengakui kekalahannya. Dia berkata bahwa alat pancingnya kalah bagus dari milik rivalnya itu. Aku memang tidak mengerti kualitas alat pancing, tetapi yang aku lihat adalah alat pancingnya bahkan lebih buruk dari punya kami.
Paman lalu beralasan lagi kalau rivalnya itu pasti menggunakan umpan khusus dari dukun. Namun, aku bisa melihat gelas plastik transparan yang berisi cacing tanah biasa, sama seperti umpan yang kami gunakan.
Lalu, Paman curiga bahwa ikan-ikan di kolam ini entah bagaimana caranya telah diperdaya oleh rivalnya itu agar berenang pindah ke kolamnya. Aku baru pertama kali ke sini, tapi aku bisa melihat bahwa kolam-kolam ini memang terpisah.
Intinya, Paman yakin bahwa ia tidak bisa mendapatkan ikan karena rivalnya itu telah curang, bukan karena ia yang kurang berusaha.
Melihat itu aku tersadar akan kesalahanku. Aku berhenti menyalahkan si anak pindahan yang kuanggap tidak tahu diri karena baru kenal langsung 'nembak' pujaan hatiku itu. Sekarang aku sadar bahwa aku yang sebenarnya tidak tahu diri karena sudah lama kenal, tetapi tidak kunjung berani untuk 'menembak'.
Melihat rivalnya mulai mengisi ember kedua dengan ikan tangkapannya, Paman akhirnya bangkit dan ingin melabrak kecurangan sang rival. Namun, aku segera menenangkannya, aku bilang lebih baik kami pergi menuju tempat pamanku lainnya, yang seorang nelayan, dan ikut naik ke kapalnya. Awalnya, Paman ragu, tetapi dia akhirnya setuju ketika aku tersenyum seraya bilang...
"Masih banyak ikan di laut"