Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini mendungnya gelap sekali. Kulihat awan seperti hendak jatuh bersamaan. Mengerikan.
Aku harus berangkat ke tempat les. Tidak jauh, sekita lima kilometer saja. Naik kendaraan umum dengan identitas pelajar, aku dapat harga terjangkau.
***
Sampai tempat les, gerimis turun. Butiran gerimisnya sebesar gelas kopi di warung. Sehingga, saat mengenai kendaraan, ia berbunyi 'tak!'. Orang-orang berlarian kesakitan.
"Cuaca begini apa baik untuk belajar? Kalian bisa mendengar saya?" tanya guru les pembimbing.
Gledurr!!
Petir terdengar seperti truk tronton loncat. Pasti pernah dengan, bukan?
Pak Dirman selaku penjaga gedung berteriak memanggil kami semua. "Anak-anak, di sini tidak aman. Kita harus mengungsi. Saya lihat di TV, kita harus mengungsi!"
Tanpa pikir panjang, anak-anak berlari mengambil barang mereka. Salah satu dari mereka menarikku. "Ayo! Jangan diam!" Aku hanya pasrah.
Kami naik ke dalam bus sekolah yang entah datang dari mana. Mungkin pinjam SMA depan gedung les. "Hujannya nggak wajar," ucap Wanda, yang tadi menarikku. "Badai."
"Lalu bagaimana dengan orang tuaku, orang tua kita?"
"Mereka tentu saja sudah mengungsi!" bantahnya, "bisa nggak egois sedikit. Mati itu sakit." Mungkin saja mati itu sakit. Masalahnya aku tidak pernah pingsan. Mungkin akan lebih sakit dan mengerikan.
***
Bus terus berjalan. Kami melihat kanan-kiri, manusia sedang berlarian. Sebelah Timur mulai banjir. Anak-anak dalam bus ketakutan. Yang tenang hanya sopir busāPak Dirman. Kami akan mengungsi di mana?
Perlahan bus menyusuri jalan dengan kanan-kiri dipenuhi pepohonan. Ya, kami masuk ke wilayah hutan. Di sini sangat sepi. Suasana mulai gelap.
"NGGAK! REMNYA BLONG!"
Apa? Lalu, kami akan mati di sini? "Aku nggak mau mati muda. Aku belum nikah sama Taehyung." Wanda masih saja memikirkan oppa Korea. Kematian ini akan sangat menyakitiku yang tidak bisa pingsan.
Ciiittt ... duakk!!
Pintu bus depan terbuka. Setengah bus ini bergelantungan di atas jurang. Kami hampir mati di tikungan. Penumpang bagian depan berguling ke depan. Dan Pak Dirman jatuh ke jurang. Beberapa pingsan dan terluka. Bu guru termasuk yang terluka. Kami tidak bisa mengecek. Jika kami ke depan, maka semuanya akan jatuh.
"Yang sadar, ayo pelan-pelan kalian ke belakang. Bergantian. Sebelum bus ini meledak," ajakku. Seperti kata Wanda, terkadang kita harus egois sedikit.
Kami keluar satu per satu. Namun, tidak semuanya bisa keluar, terutama aku dan Wanda. Dia sangat ketakutan. Tiba-tiba segerombolan anak nakal berlari ke belakang meninggalkan kami yang berjuang.
Dan ... kami yang tersisa terjatuh ke jurang bersama bus. Aku benar-benar tidak diizinkan pingsan. Kepalaku sakit, seperti mau copot. Lebih sakit dari migrain. Hidungku berdarah. Wanda pingsan. Goncangan bus yang menghantam batu-batuan di tebing membuatku tersentak, sakit tak karuan. Seluruh badanku sakit, tapi aku tak diizinkan meninggal. Sesakit ini.
***
Tiba-tiba aku terbangun di suatu tempat. Apa aku mimpi barusan?
"Hai, kamu sudah bangun? Rasakan kakimu. Apa sudah hilang sakitnya?"
Kutundukkan kepalaku. Aku mendapati kakiku ... hilang?
"NGGAAAK!"
"Warga setempat menemukan beberapa anak remaja di aliran sungai. Dan satu-satunya yang hidup hanya kamu."
"Apa saya tadi pingsan?" tanyaku.
"Iya lah. Kalau enggak, pasti kamu teriak saat kakimu dipotong, hahaha!" Tertawanya seram. Dia mengacungkan pisau daging di hadapanku dengan ekspresi haus.
"AAA ...!"
Ternyata cuma mimpi.