Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan masih penuh jatuh dari langit. Di ceruk sebuah warung kopi, aku melipat tubuh. Sebenarnya, ada jas hujan di jok motorku. Aku bisa saja menembus hujan . Pulang.
Tetapi, ibu tua pemilik warung kopi itu memintaku menemaninya hingga anak perempuannya tiba. Lelaki gila yang berteduh di emperan toko tak jauh dari warungnya membuatnya takut. Tanpa berpikir dua kali, aku sanggupi.
Apalagi, di rumah pun tak ada yang menanti. Anakku setahun lewat tinggal bersama kakek-neneknya. Istriku tiga bulan lebih tak jelas kabar beritanya.
Sembari sesekali menatap ke arah lelaki gila di emperan toko itu, ibu tua pemilik warung itu berkisah tentang suaminya yang tak pernah berikan nafkah, dan seringkali memukulinya. Tapi, aku terkesiap ketika dengan tenang ia berkata; "Aku tak tahu bagaimana hidup tanpanya."
Harus aku akui, kisah yang dituturkannya dalam menusuk palung hati. Suami dalam kisahnya seakan menggelitik diri. Seakan ibu itu sedang menyindirku. Tapi aku memang tidak seratus persen seperti suaminya, aku tak pernah main tangan, aku masih memberi nafkah. Walau harus kuakui, tak sebanding dengan biaya hidup di kota ini. Istriku pun terpaksa ikut bekerja. Mertua menganggapku tak becus menghidupi keluarga. Lantas mereka menjemput putri dan cucunya dan melarangku menghubungi mereka.
Aku dan istriku masih mencuri pertemuan usai tragedi penjemputan. Aku dan istriku juga masih saling berbalas pesan. “Aku dan anakmu masih butuh kamu, Mas. Cari kerja yang mapan ya! Pemasukannya bisa dipastikan tiap bulan.” demikian istriku sering kali mengakhiri pesan-pesan WA-nya.
Hingga sampai tiga bulan lalu, pesan-pesanku selalu berhenti pada centang satu. Nomor Istriku tak bisa dihubungi. Aku sempat merasa gila, kujemput anak istriku ke rumah mertua. Mereka mengusirku, istriku dan anakku dilarang menemuiku. Hanya suara tangis mereka kudengar dari luar pagar. “Gila, kau masih mencintai pengarang miskin itu!”
Tak berselang. Terlihat seorang perempuan -yang nampaknya juga gila- tiba-tiba mendekati emperan toko. Ditembusnya deras hujan. Lalu, ia duduk di sisi lelaki gila itu.
Beberapa saat, mereka terlihat hanya duduk bersisian. Namun, kemudian tangan-tangan mereka menari seperti utarakan yang terpendam. Saling menggenggam penuh perasaan. Kepala perempuan itu tersandar bahu orang gila itu. Senyuman terhias di wajah-wajah mereka.
Tak kusadari, ibu tua pemilik warung itu juga menikmati pemandangan itu. Kami berdua terdiam. Seakan kami berdua tiba di sebuah simpulan; "Hanya orang gila yang mencintai orang gila."
Mojokerto, 2020-2022
NB:
Amore Pazzo; Cinta gila.