Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kenalkan temanku. Namanya, sebut saja Hero. Aku yang memberinya nama, karena dia tidak tahu namanya sendiri ketika kutemukan pagi tadi di halaman belakang rumah. Dia kupergoki menerobos pagar dan masuk ke halaman. Lalu berhenti di samping pot dan seperti kebingungan di sana.
Hero adalah seekor kelinci. Punya dua telinga panjang, beberapa helai kumis, dan pucuk hidung yang selalu berdenyut, seperti kelinci pada umumnya. Yang membedakannya adalah Hero langsung akrab denganku. Ketika aku mendapati dia kebingungan tadi, pelan-pelan aku mendekat. Anehnya, alih-alih berlari, dia justru menyambutku. Sejak itu kami seperti sepasang sahabat. Ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja.
Tapi ketika dia mulai membahas manusia, aku mulai sebal. Hero selalu mencibir. “Tahukah kau bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk yang cenderung selalu dirundung malang?” katanya. “Setiap kali menciptakan sesuatu untuk memudahkan hidupnya, yang terjadi justru kalian dibodohi dan diperbudak oleh ciptaan kalian sendiri. Uang, kendaraan bermotor, ponsel, internet, bahkan aturan hukum.”
Jelas harga diriku tercubit. Berkali-kali aku mempertahankan diri, berkali-kali pula dia berhasil mendapatkan kelemahanku. “Nah, ini bukti manusia mementingkan egonya. Tidak mau disalahkan. Baru dikritik sedikit langsung menyerang habis-habisan,” tukasnya sambil meludah.
Rasanya kami tidak sejalan. Barangkali kalau yang mengkritik sesama manusia okelah, tapi ini seekor kelinci! Cukup sudah persahabatan yang hanya berlangsung beberapa jam saja di teras rumah.
“Maaf, Hero. Aku harus menyelesaikan sesuatu di dalam. Kamu aku tinggal di sini ya. Atau kalau mau pergi, silakan saja,” kataku ketus. Hero mengangguk santai seperti tidak ada apa-apa. Hewan mana peka dengan hal-hal begituan….
Aku masuk dan mengintip Hero dari balik jendela. Dia masih berdiri di tempatnya, celingak celinguk seperti ada yang dia cari. Tiba-tiba seekor anjing beagle berlari masuk halaman sambil menggonggong. Dia mendekati Hero yang langsung menyambutnya. Mereka tampak saling berbicara, lalu pergi keluar pagar.
Aku penasaran. Kuikuti mereka diam-diam. Mereka berjalan melalui jalan kampung yang sepi, sepertinya menghindari bertemu dengan orang-orang. Di tengah jalan, bergabung seekor anjing beagle lain, lalu dua ekor angsa, seekor ayam jantan, dan seekor kucing kampung. Tiba di ujung jalan, mereka membelok masuk ke dalam hutan. Aku makin penasaran.
Sekitar 500 meter ke dalam, mereka sampai ke sebuah tanah lapang. Keenam hewan itu berkumpul melingkar di pinggir lapangan. “Sudah ya, kita putuskan sekarang,” kata Hero.
“Ya, sebaiknya begitu. Aku juga menemukan banyak manusia yang tidak peduli dengan planetnya, padahal ini adalah tempat tinggal mereka dan anak cucunya,” timpal ayam.
“Setuju. Mereka lebih hewani dari yang aku kira. Bahaya kalau kita tinggal di sini,” kata beagle pertama.
“Oke, kita sepakat,” tegas Hero. Ia mengeluarkan sesuatu sebesar korek api dari balik bulunya dan memencet sebuah tombol. Tiba-tiba udara di tengah tanah lapang itu terbelah pelan-pelan dan menampakkan sebuah wahana sebesar mobil MVP berbentuk telur berkaki empat. Sebuah pintu di tengah telur membuka dan menjulurkan tangga ke tanah.
Hero kembali memencet tombol di gawainya. Tiba-tiba kulit tubuh para hewan itu menghilang dan memunculkan tubuh asli mereka—makhluk bertangan dan berkaki tiga dengan kepala dua kali lebih besar dari kepala manusia.
“Ayo kita cari planet lain!” seru Hero lalu memimpin mereka masuk ke dalam telur.
***