Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kak, bersihkan bagian depan, biar ibu dan adikmu yang bagian dalam." kata Ibu muncul di balik pintu.
Aku mengangguk lanjut menyapu lantai luar sedangkan Ayah memangkas rumput-rumput liar. Setelah dua jam, kegiatan bersih-bersih selesai. Untuk mengusir penat, aku duduk di teras memperhatikan langit siang yang tertutup awan dan menangkap penampakan pelangi. Aku terpesona memandangnya dan beranjak untuk melihat ujungnya.
Sebuah keanehan terjadi, warna pelanginya hanya ada tiga yaitu merah, kuning dan biru. Warna biru dari pelangi itu memudar lalu cahayanya jatuh tepat di atas genteng rumahku menimbulkan kilauan biru yang pekat mengelilingi seluruh bagian rumah.
Aku panik segera berlari untuk memberitahu Ibu juga adikku agar keluar dari dalam. Namun, teriakan Ayah di samping halaman membuatku datang padanya terlebih dahulu.
"Ayah kenapa?" tanyaku sambil membantunya berdiri.
"Sinar itu berbahaya kita harus pergi dari sini, Agnes." ujar Ayah kesakitan.
"Sinar?" aku kebingungan.
Ayah menarik tanganku dengan langkah tertatih-tatih.
Apa mungkin maksud Ayah adalah sinar biru pelangi?
Sepintas aku melirik rumah, berat rasanya pergi tanpa ibu dan adikku.
Apakah keduanya akan baik-baik saja di dalam sana?
Aku dan Ayah sudah menjauh dari kawasan rumah sesekali memeriksa puing-puing bangunan disekitar yang sudah hancur entah karena apa.
Aku ingin menanyakan sesuatu pada Ayah tapi melihat wajahnya yang murung bahkan tidak bicara apa-apa membuatku terdiam. Aku terus berjalan mengikuti kemana Ayah pergi lagipula apa yang terjadi terasa membingungkan untuk dipahami.
"Berjalanlah didepan!"
Aku terkesiap ketika Ayah bersuara. Di depan yang Ayah maksud adalah sebuah hutan. Apakah aku harus masuk kesana terlebih dahulu?
Aku melihat sekeliling, memang tidak ada apapun selain bangunan roboh dan hancur. Pilihanku saat ini harus mengikuti apa yang Ayah ucapakan.
Aliran air sungai kecil serta jalan setapak becek penuh lumpur menyambut ku. Banyak pohon tumbang lalu–orang. Iya, aku dapat melihat seorang bapak melambaikan tangannya dari kejauhan. Ku teruskan berjalan dengan Ayah yang masih setia mengikuti dibelakang.
"Aman, Pak?" tanya si Bapak tersenyum setelah kami sampai.
Ayahku mengangguk.
"Silahkan jalan lagi pak!" si Bapak melanjutkan.
Ayah kembali berjalan dan kali ini aku dibelakangnya.
"Ayah sebenarnya apa yang..."
"Agnes kamu selamat nak, bibi kira kamu masih terjebak." Bibiku menyapa dengan raut lega diwajahnya. Aku hanya tersenyum tipis lalu kembali teringat ibu dan adikku. Bagaimana keadaan mereka sekarang?
Semuanya hancur dengan longsoran tanah dimana-mana tetapi tidak ada angin, hujan ataupun badai yang menghantam. Di tempat ini hanya tersisa puluhan orang yang selamat.
Aku mendongak ke atas langit, tiba-tiba muncullah lingkaran putih seperti bentuk obat nyamuk. Lingkaran itu terus berputar ketika ku fokuskan menatapnya walau semakin lama terasa memusingkan hingga kegelapan memenuhi kedua mataku.
Selanjutnya, aku sudah berada di halaman bersama tetangga menikmati indahnya senja. Adikku yang sedang memakan cemilan, Ayah asyik mengobrol lalu ibu, sibuk mengambil makanan. Mengerjapkan kedua mata sesekali menguceknya ku lakukan berulangkali. Tepat disampingku sudah ada buku gambar dengan lukisan pelangi tiga warna.
Aku memperhatikan lukisan itu seksama dan terlihat seperti ... kejadian ku alami beberapa saat lalu.
Siapa yang telah menggambar? sedangkan aku tidak merasa ... tetapi yang jelas buku gambarnya adalah milikku.
Benar-benar aneh!