Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bocah sekitar tiga tahun itu sangat mirip Mbak Ratri, kecuali kulit putih kemerahan dan manik matanya yang biru. Membuat Nathan berbeda dari keturunan Jawa.
"Plen, plen."
Menyadari kehadiranku, Nathan tersenyum menghampiri. Tangan kecil mungilnya menarik dressku.
Aku berjongkok di tepi springbed, menggapai-gapai kolong gelap. Menemukan benda berbentuk pesawat tidaklah sulit. Pikirku.
"Ta, ngapain kamu di kamar ini?" Sergah, Mbak Ratri.
Wajah garang Mbak Ratri muncul bersamaan lampu pijar kuning yang menyorot. Keberadaanku mencederai kawasan privasinya.
"Eh, ak, aku tadi."
Paru-paruku seperti kehabisan udara, lidahku kaku tidak mampu mengolah kata. Niat baik mengawasi Nathan bermain sendirian tentu tidak cukup. Kepulan emosi terlanjur membakar Mbak Ratri, mustahil dihalau. Aku Menunduk takut.
Bocah berkaos biru terang itu langsung berlari keluar. Mbak Ratri menarik tanganku, kami cepat berpindah ke ruang tengah. Kapas, kasa, dan cairan antiseptik Mbak Ratri usap ke telapak tanganku.
"Laki-laki sialan. Seminggu menikahiku, dia pulang ke negaranya, tidak pernah kembali sampai hari ini. Seandainya aku langsung menolak lamarannya, atau menyingkirkan pecahan frame foto tidak berguna itu, pasti tanganmu tidak terluka, Ta."
Mbak Ratri mengumpat, air mata bercucuran dari pelupuk matanya.
Aku tak mengira, sudah tiga tahun Mbak Ratri menyimpan nestapa. Hans datang bagai kumbang kelaparan, dan pergi setelah nektar habis terhisap. Selama ini Mbak Ratri tidak pernah menceritakan apapun. Meski galak, Mbak Ratri selalu bersikap tenang, dan legowo. Terkadang, menganggap semua baik-baik saja menjadi senjata ampuh dalam menghadapi situasi yang sangat sulit sekalipun.