Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku melihatnya menangis hampir setiap malam setelah pertengkaran hebat kami kala itu.
Saat itu aku benar-benar sakit hati dan terluka karena ia meneriakkan kalimat kasar padaku. Sebelumnya kami hanya cekcok kecil, hanya debat kecil seperti biasanya. Namun entah bagaimana mulanya hingga cekcok kecil itu berubah jadi teriakan. Dan teriakan itu mulai menjadi panas, hingga kalimat kasar itu keluar dari mulutnya.
“Kamu benar-benar tidak tahu diri. Tingkahmu lama-lama seperti binatang. Anjing!.”
Aku yang tadinya terus berbicara dengan nada tinggi dan berteriak, seketika terdiam. Air mataku menggenang dengan sangat cepat di pelupuk mata. Tenggorokanku tercekat. Aku menangis namun sekuat tenaga menahan isaknya.
Kemudian aku berlari kecil menuju pintu dan keluar dari rumah. Mengusap air mataku yang sudah jatuh di pipi dengan kasar. Membanting pintu.
Pertengkaran itu sebenarnya bukan masalah yang besar. Hanya saja karena kami berdua sama-sama lelah, kami menjadi gampang tersulut emosi. Seharusnya kami bisa saja menyelesaikannya dengan duduk berdua dan bicara baik-baik. Namun kami terlanjur emosi dan tidak dapat mengontrolnya lagi.
Mungkin juga kami lelah dengan hubungan yang sudah terjalin cukup lama. Kami menikah dua tahun yang lalu, dan sudah pacaran 3 tahun sebelumnya. Bukan kami sudah tak saling mencintai, kami hanya lelah saja.
Kini aku duduk di sebelahnya yang menangis dalam diam. Matanya terpejam, menunduk. Menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang ditekuk.
“Lantainya dingin. Sebaiknya pindah ke sofa saja.” Aku mengelus pundaknya yang berguncang pelan.
Ia tidak bergeming. Masih menangis tanpa suara.
“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak mengucapkan kalimat kasar padamu malam itu. Seharusnya aku tidak terpancing emosi.” Ia mengucapkannya tanpa melihatku. Masih menunduk.
“Tak apa. Aku juga mungkin sudah keterlaluan hingga membuatmu marah.” Aku masih mengusap pundaknya.
Memang malam itu aku sangat terkejut mendengar kalimatnya yang kasar. Karena sebelumnya ia tak pernah sampai sekasar itu padaku. Semarah apapun Haikal, ia tak pernah sampai melontarkan kalimat umpatan.
“Andai aku mencegahmu keluar rumah malam itu, atau setidaknya aku mengejarmu dan segera memintamu masuk ke rumah, aku pasti tidak akan pernah kehilanganmu. Aku tidak tahu ini akan berakhir sangat buruk.”
Aku terdiam, tidak menanggapi. Aku hanya menatapnya.
Haikal mulai mengangkat wajahnya, matanya sembab. Ia menatap langit malam dari jendela besar apartemen kami yang gordennya sengaja dibiarkan terbuka.
“Aku benar-benar minta maaf Sella.” Kini Haikal melepas isak tangisnya. “Aku sungguh tidak ingin kehilanganmu. Bagaimana aku harus melanjutkan hidupku? Bagaimana aku bisa .......” ia tak bisa meneruskan kalimatnya. Isak tangisnya mengeras.
Aku ikut menangis bersamanya.
“Aku masih di sini Haikal. Malaikat maut belum menjemputku.”
.
.
.
Malam itu, ketika aku keluar dari rumah dan menyeka air mataku yang terus turun, aku berniat pergi ke taman dekat apartemen kami. Aku keluar dari gedung apartemen, melintasi halaman luas apartemen, menyeberang jalan. Namun karena terburu-buru dan tidak sempat melihat kanan kiri, aku tertabrak motor yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan yang sepi itu. Dan aku meninggal di tempat. Kondisiku sangat parah, mengenaskan.
Tapi aku masih di sini, di samping Haikal yang masih menangis. Aku tidak tahu mengapa malaikat maut belum juga menjemputku. Apakah masih ada urusan yang harus keselesaikan?