Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah gunting bermata tajam tergenggam erat dalam dekapan tanganku yang gemetaran. Air mata yang telah kering kini beralih pada keputusasaan. Bisikan-bisikan jahat yang memenuhi ruang pikiran dan perasaan, menjadikan tubuh merinding, jantung berdebar hingga kepala dan mata yang berat. Bahkan, suara nafasku sendiri kini terasa akan hilang.
“ARGH!”
Teriakan yang sudah kesekian kalinya mengganggu keheningan malam, membuat sekumpulan anjing-anjing menggonggong keras. Dinginnya malam dan detakan jarum jam merasuki keadaan yang semakin menyeramkan. Apa sebaiknya mati saja? Apa gunanya saat ini hidup?
“Sayang!”
Pikiran jernihku perlahan kembali setelah mendengar suara yang sudah lama menjadi ketenangan hati. Pintu kamar yang terkunci kemudian terdengar telah hampir terbuka secara paksa.
Brak!
Ia berlari cepat ke arahku. Lelaki berbadan besar memberikan keteduhan yang membuatku merasa bahwa dunia ini sebenarnya sedang baik-baik saja. Bola mata besarnya menatapku dengan iba. Punggungnya terisak perih. Pelukan hangat akhirnya menyembuhkan kegelisahanku malam itu. Aku merekatkan kedua tanganku ke wajah manisnya, sembari memandangnya, aku tersenyum.
“Suamiku sudah pulang? Aku tidak apa-apa.”
Kesedihan yang sudah terbalut dengan frustasi, lelaki itu memukul-mukul dirinya sendiri, seperti ingin menggantikan kesedihanku.
“Aku mohon, tetaplah kuat.”
***
Sinar hangat matahari yang menerobos jendela besar kamar membangunkan perjalanan sulitku menuju kenyataan yang sebenarnya. Kupandang sekitarku, semuanya terlihat sudah rapi. Namun, aku merasa semalam sangat melelahkan, membuat kepalaku masih sangat pening.
“Sudah bangun, Sayang?”
Dari arah pintu, lelaki kesayanganku memberikan senyuman terbaiknya. Ia berjalan mendekat dan memberikan kecupan kecil dipelipisku yang menenangkan. Badan besarnya dengan sengaja dibungkukkan, mengarahkan kepalanya agar dapat memandangku dengan tepat. Aku memeluknya sangat erat.
“Sayang, aku semalam mimpi buruk lagi. Apakah aku merepotkanmu?”
Suamiku menggeleng cepat. Ia menyuruhku untuk menghentikan pembicaraan dengan meyakinkan kembali bahwa aku hanya kelelahan.
“Hari ini sudah siap?”
Aku mengangguk.
***
Sebuah panggilan untukku yang berkali-kali terdengar setiap bulannya. Dokter Psikiatri yang telah menjadi rumah kedua, mulai menanyakan kondisi dan hasil perkembangan rawat jalanku. Disebut rumah kedua, karena ia adalah tempat dimana aku mengeluarkan seluruh emosi dan perasaan yang kiranya perlu dibuang melalui bercerita, berkeluh kesah, hingga tanpa sadar, aku mempertanyakan, mengapa semuanya masih terasa menyesakkan? Mengapa belum juga lekas sembuh, padahal sudah mengikhlaskan segalanya?
“Semua hal yang menimpa tanpa disadari telah merasuki alam bawah sadar dan membentuk trauma. Saya percaya, kekhawatiran itu pasti bisa dilawan.”
Kalimat Dokter Psikiatri tersebut seakan menghasilkan perasaan berkecamuk. Tangisan yang sudah tidak bisa terbendung, kini telah mengalir deras di pipi. Mengingat kembali kejadian pendarahan dan kontraksi pada malam hari itu, membuat seorang calon Ibu yang hanya berusaha menjaga, akhirnya menyalahkan dirinya sendiri setiap malam. Tepatnya, sepanjang malam membuatnya enggan untuk tidur, karena hanya ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan sebelumnya yang menciptakan kehilangan.
***
Sebagai salah satu dari jutaan penderita gangguan kejiwaan anxiety disorder, membuat kehidupanku tidak mudah. Panic attack hampir membuatku seperti akan meninggal di tempat, tepat setelah mendengar diagnosa dokter bahwa kandunganku telah tidak bernyawa. Semesta seakan tidak berpihak pada kehidupanku, namun, hal yang teringat dalam benakku adalah obat ajaib yang diberikan suamiku ketika semuanya telah runtuh.
Benar, suamiku adalah alasanku untuk keluar dari keputusasaan, yang telah menciptakan Ellipsism de Nocte (kesedihan di malam hari).