Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Desember, 2003
Berhasil memarkir mobilku di parkiran bandara, aku segera turun dan menyeberang menuju pintu kedatangan internasional.
Hari ini Frans akan pulang setelah menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Ah, rasanya tak sabar ingin segera memeluknya setelah tiga tahun ini hanya bisa saling berkomunikasi lewat layar.
Tadinya Frans ingin langsung pulang ke Jakarta, tapi terpaksa singgah di Bali lebih dulu untuk merayakan ulang tahun temannya di salah satu restoran.
Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Sebentar lagi, batinku dalam hati, mencoba meredakan debaran jantung yang berdetak semakin hebat.
Ponsel di tanganku berbunyi dan segera kujawab panggilan dari Mama Frans.
"Pagi, Tante."
"Pagi, Nayla. Kamu ... di bandara?"
"Iya. Tungguin aja, ya, Tan. Sepuluh menit lagi Frans akan sampai."
Terdiam sejenak di seberang. "Ya. Setelah itu, segera ke sini."
"Iya."
Panggilan selesai dan aku kembali melirik jam tanganku sekali lagi.
Lima menit lagi.
Aku berjalan ke arah tangga menuju anjungan, tempat di mana pengantar atau penjemput bisa melihat pesawat terbang dan mendarat.
Cukup banyak orang di sana, terutama mereka yang membawa anak-anak. Aku pun mengarahkan pandanganku ke arah kiri dan dari jauh terlihat ada pesawat yang siap mendarat.
Tepat pukul 10:10, pesawat itu mendarat, disusul bunyi speaker bandara yang menginformasikan pendaratan pesawat yang ditumpangi Frans.
Bibirku menyunggingkan senyum sambil menggenggam liontin cincin dikalung. Cincin yang akan disematkan Frans padaku setelah kepulangannya.
Akhirnya kau pulang, Frans.
Aku pergi dari anjungan menuju parkiran dan pergi dari area bandara menuju makam Frans, di mana seluruh keluarganya sudah menungguku.
Setahun yang lalu, Frans menjadi salah satu korban tragedi bom Bali bersama ketiga temannya. Aku sengaja ke bandara tepat setahun dan jam yang sama, seolah menjemput Frans pulang.
***