Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi ini, kali pertama aku melihatmu. Jendela itu sempurna membingkai keelokanmu. Rona wajahmu sehangat matahari pagi. Mata bulatmu berbinar seterang purnama. Bahkan paras ayumu membuat bunga-bunga malu. Apakah kau selalu semenawan ini?
Sepertinya, tatapanku terpaku terlalu lama, hingga akhirnya kau pun menyadarinya. Mata kita beradu. Ujung bibirmu terangkat di kedua sisinya. Seulas senyum itu bagai magnet yang menarik tubuhku semakin dekat denganmu. Jarak di antara kita kian terlipat. Hingga aku bisa memandang sorot mata teduhmu sedang menyembunyikan sepotong sedu.
"Hai," sapaku.
"Hai juga," jawabmu. "Kamu baru pindah kos di situ?" Kau menunjuk ke sebuah rumah di seberang rumahmu.
"Sudah seminggu ini. Aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya."
"Aku memang jarang keluar rumah. Tapi, aku suka lihat orang-orang beraktivitas dari sini. Jendela ini adalah penghubungku dengan dunia luar."
"Oh iya, kita belum berkenalan. Aku Rei." Kuulurkan tanganku padamu, berharap kau akan menerimanya. Namun, sebuah suara dari balik pintu kamarmu, membuatku menggenggam udara kosong. Kau terlihat begitu cemas.
"Maaf, Rei. Aku harus menyelamatkan ibuku." Dalam sekejap, kau telah menghilang dari jangkauan penglihatanku.
Suara itu terdengar semakin jelas. Seorang perempuan memohon ampun dalam rintihannya. Seorang pria menggeram dan mengeluarkan kata-kata makian. Teriakannya melengking menembus langit-langit, diikuti suara barang-barang pecah. Apa yang terjadi padamu? Kuharap kau baik-baik saja.
Langkahku sungguh berat sejak meninggalkan rumahmu. Perasaan bersalah mengepung pikiranku. Hingga tiba-tiba, seorang perempuan paruh baya memanggilku, "Anak muda, kemarilah!"
Aku menghentikan langkah sejenak lalu menghampirinya, "Ada apa, Bu?"
"Ibu lihat tadi kamu ke rumah itu, kamu ngobrol dengan siapa?"
"Oh, tadi saya kenalan sama anaknya, Bu. Perempuan yang matanya bulat, rambutnya panjang."
"Mila maksudmu?"
"Mungkin begitu, Bu. Kebetulan dia belum sempat menyebutkan namanya. Tadi ibunya teriak minta tolong, saya kurang tahu apa masalahnya, tapi saya juga dengar suara barang-barang dilempar."
"Jangan ke rumah itu lagi, ya."
Aku mengernyitkan dahi, "Memangnya kenapa, Bu?"
Lidahku kelu mendengar penuturan beliau. Tanpa kusangka, ternyata Mila dan ibunya telah tewas satu bulan lalu. Ayah Mila membunuh mereka dan membakar rumahnya. Ayahnya memang dikenal sering melakukan kekerasan pada keduanya. Mereka juga dilarang berinteraksi dengan tetangga, sehingga mereka hanya bisa keluar rumah saat ayahnya pergi.
Sebelum mengetahui yang sebenarnya, aku melihat rumah itu hanya rumah biasa. Kini semuanya jauh berbeda. Ketika aku menengok ke belakang, kudapati rumah itu berubah menjadi hitam dan tersisa puing-puing bangunan. Hanya saja, jendela itu masih tegak berdiri pada tempatnya. Jendela yang menjadi penghubungku dengan dunia Mila.