Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah berbulan-bulan aku tidak sekolah seperti anak-anak di luar sana. Sudah lama juga, aku tidak bisa bertemu teman-temanku.
“Bu, besok aku sekolah, ya?”
“Zain, apa kamu tidak melihat di luar terlalu banyak asap?”
Setiap hari Ibu hanya menjawab hal yang sama. Aku memandangi jendela dengan dagu tertunduk. Aku memang tidak bisa melihat apapun. Tidak ada satu orangpun yang keluar rumah. Kecuali petugas dan relawan dengan masker putih dan selang besar. Itu adalah ayahku. Aku berlari memeluk Ayah yang baru saja datang. Namun, ada yang berbeda dari raut wajahnya. Meskipun begitu, Ayah tidak lupa membawa mainan robot yang sangat ku sukai.
“Ayah, boleh kah besok aku ikut Ayah bekerja?”
Ayah menatap Ibu diam-diam. Namun, Ibu hanya tersenyum pasrah.
“Tentu saja boleh, jagoan!”
Dengan menggelitik pinggang kecilku, Ayah mengejarku dan bermain seperti biasanya.
Setelah mengikuti Ayah ke berbagai tempat, aku tiba di sekolah. Aku meminta waktu kepada Ayah untuk bermain sebentar.
Brak!
Terdengar suara meja yang sedang jatuh. Aku berlari mencari sumber suara.
“Zain, tolong aku!”
Temanku sedang kesakitan karena terjepit meja yang runtuh. Dengan sigap aku mengangkat meja yang menutupi badan temanku dan berhasil. Temanku keluar dari kelas. Saat aku melepas meja itu, karena tertutup asap, ternyata meja-meja yang lain tergeser dan runtuh menutupi penglihatanku.
“Zain! Zain!”
Suara Ayah mulai memanggilku terdengar samar-samar. Aku melihat dari lubang kecil reruntuhan meja, Ayah sudah tidak memakai maskernya lagi.
“Ayah! Aku baik-baik saja! Tolong pakai penutup mulutmu!”
Ayah tetap bersikeras memindahkan meja-meja yang menindihi tubuhku. Sesak didadaku mulai merasuki pernafasanku. Asmaku mulai kambuh.
“Ayah, maaf. Aku bersikeras ke sekolah, hanya benar-benar ingin sekolah, aku ingin tumbuh menjadi pintar dan jika sudah pintar, aku ingin merubah negara ini walaupun hanya sedikit. Aku ingin rumah kita tidak ada asap lagi...”
“Zain!”
Ayah berhasil menemukanku. Masker yang biasa ia gunakan untuk bekerja, langusng ia tancapkan ke mulutku. Aku mendengar nafas Ayah sudah tersengal-sengal. Aku tahu, Ayah juga memiliki asma kronis dan menurunkan itu ke tubuhku. Ayah menggendongku keluar kelas dan membawaku kembali ke mobil. Dalam perjalanan, aku melihat raut wajah Ayah sudah diujung kesakitan. Namun, setelah itu aku sudah tidak bisa melihat apapun.
Aku membuka mataku perlahan. Aku sudah kembali ke kamar. Aku keluar dan mencoba mencari Ibu yang ternyata hanya menangis di kamar dan berkata, “Ayah akan segera pulang.” Namun sejak itu, Ayah tidak pernah pulang. Aku menganggap semua pria di luar sana yang menggunakan masker putih adalah Ayahku. Ya, Ayahku telah kehilangan nyawanya karena menolongku. Aku berjanji pada diriku, akan merubah negara ini agar tidak berasap lagi.