Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin laut meniup pelan, menerpaku yang tengah berdiri di atas sebuah batu besar di tengah lautan. Banyak orang berteriak cemas dari pinggir pantai, namun suara mereka teredam deburan ombak. Pasti mereka menyangka aku akan merenggut nyawaku sendiri. Lucu sekali. Aku sedang menatapi buku yang tengah terbentang di tanganku, dan sama sekali tidak berniat untuk bunuh diri.
Kututup buku itu perlahan, lalu menoleh pada mereka yang masih saja berteriak-teriak. Mereka melambaikan tangan, beberapa tampak membawa perahu motor dan bicara pada penjaga pantai. Seseorang di tengah kerumunan tampak membatu, menatap nanar ke arahku. Aku menyeringai tipis sebelum memasukkan buku tadi ke dalam tas, lalu melompat ke dalam laut. Teriakan-teriakan itu terdengar histeris sebelum telingaku dibekap air.
Suara mesin perahu motor terdengar dekat. Tepat sebelum baling-baling perahu motor itu memutar, aku memunculkan diri dari dalam air. Kerumunan itu terkesiap. Penjaga pantai langsung turun dari perahu motor untuk membantuku berjalan. Aku tersenyum tipis ke arahnya sebelum mengatakan aku baik-baik saja, lalu melangkah santai ke bawah pohon kelapa. Sosok yang tadi membatu itu segera menyusulku.
“Apa kau sudah gila?” tanyanya gusar.
“Kalau itu yang membuatmu akhirnya mau bicara padaku lagi, ya, aku sudah gila,” jawabku tenang.
“Kau tidak boleh begini. Aku kini bahagia bersama Dini!”
“Oh, jangan membawa-bawa ‘kebahagiaan’mu dengan perempuan itu padaku. Kau yang tak boleh begini!”
“Berapa kali lagi harus kukatakan, meskipun aku punya pacar, aku akan selalu menyayangimu. Tak ada yang bisa mengubah itu. Kita ini saudara kembar!” serunya frustrasi.
“Apa kamu tak mau melihatku bahagia? Kau akan menemukan pasanganmu sendiri nanti, begitu pula aku. Jadi tolong, hentikan tingkah kekanakanmu itu. Kau sudah terlalu tua untuk terus merasa cemburu pada setiap orang yang kupacari.”
Aku mendengus dan tertawa sinis mendengar perkataannya.
“Kau benar. Aku terlalu tua untuk melabrak perempuan-perempuan itu.” Aku membuka tas anti-airku dan mengeluarkan sebuah buku. “Kurasa sudah saatnya aku beraksi.”
Kubuka buku itu dan menunjukkan isinya pada kembaranku. Matanya membelalak.
“...dan kurasa, sudah saatnya aku membiarkanmu bahagia dengan Dini-mu itu,” ucapku seraya menghunuskan sebilah belati ke dada kirinya dengan gerakan cepat. Dia menatapku dengan tatapan tak percaya sebelum ambruk. Aku melihatnya menggelepar sesaat di pasir pantai dengan dada yang mengucurkan darah segar. Kuoleskan darahnya yang melumuri belatiku ke jantung kekasihnya yang tak lagi berdetak, tergeletak tak berdaya di dalam bukuku.
“Berbahagialah bersamanya di neraka.”