Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kita berpisah saja.”
Air mataku kali ini telah menjadi bukti keputusasaan dan kekecewaan. Lelaki yang sedang berhadapan denganku adalah seseorang yang telah membersamaiku selama satu tahun dan ingin menikahiku, namun keadaan tidak merestui itu. Kami menemukan titik yang tidak memiliki penghujung, seakan masih banyak tangga yang harus dinaiki namun dari langkah kaki yang berbeda. Satu-satu, tidak bersama lagi. Kupandangi lama-lama raut wajahnya, aku mendapatkan ketenangan bukan kemarahan. Peliknya, aku sedang melawan hati dan pikiranku sendiri.
“Sat, mari kita bertemu dua tahun lagi, ya?”
Aku tidak tahu apakah ia akan melakukan hal yang sama, namun aku masih mencintainya.
Satria mengangguk tenang.
“Tolong hargai keputusan Ayah dan Ibu. Jangan pernah sekali-kali melawan, ya?”
Kali ini aku mengangguk perih.
Aku tahu apa yang telah aku jalani dengan Satria adalah kesalahan. Mendahului menggapai cinta makhluk-Nya daripada cinta pencipta-Nya. Aku ingin jadi lebih baik.
***
“Put? Ngelamun mulu, ih.”
“Hah? I-iya, gimana?”
“Minta tolong nanti reviewnya kirim ke emailku, ya. Buru-buru nih, ditunggu suami.”
“Yah, buka puasa sendiri lagi ini. Janji ya, besok sama aku?”
“Makanya cari suami, lagian betah banget single. Duluan, ya.”
Mulutku manyun. Dari sekian banyak dosen muda yang ada, aku merasa Tisa adalah teman yang terbaik, walaupun akhirnya ia menikah duluan. Seperti biasa, deadline tugas dari kampus menumpuk. Terpaksa lembur untuk kesekian kalinya. Dering telepon menghentikan aktifitasku.
“Iya, Ma?”
“Kamu masih di kampus?”
“Iya.”
“Besok pulang ya, ada yang mau Papa kenalkan sama kamu.”
“Lagi? Ma, Putri sudah capek dengan perjodohan.”
“Kalau tidak cocok boleh ditolak, kenapa harus capek? Ini ikhtiar Mama untuk kamu, Put.”
“Baik, Ma.”
Pandanganku kosong. Sudah dua tahun berlalu. Aku sudah tidak mengharapkan Satria lagi. Niatku untuk lebih baik lurus kutunjukkan hanya untuk-Nya, agar kekecewaan tidak menghinggapi lagi. Berharap pada manusia hanya akan meruntuhkan ekspektasiku, sedangkan berharap kepada-Nya aku percaya akan mewujudkan kebahagiaan. Aku sudah mengikhlaskan Satria pergi.
Hari ini adalah perjodohan kelima yang akan kulakukan. Berbagai proses telah kulewati untuk membahagiakan orangtuaku sebagai alasan satu-satunya untuk hidupku. Tetapi, bisakah ini yang terakhir? Kumohon.
“Putri, sini, Nak.”
Aku melangkah ke ruang tamu dengan kepala tertunduk.
“Putri, kenalkan. Ini adalah anak dari teman Papa yang sebenarnya, sejak dari kecil ingin sekali Papa jodohkan dengan kamu. Tetapi, Papa rasa itu tidak masuk akal untuk Putriku. Jadi, Papa baru mempertemukannya denganmu sekarang. Papa harap, kamu bisa memberi jawaban terbaik.”
Mulutku masih bergeming.
“Iya, nak Putri. Kami sudah lama merencanakan. Anak saya, memang tidak setinggi nak Putri dalam pendidikan. Tetapi, baru-baru ini, ia telah berhasil menempuh profesi notaris hukum. Katanya, ia mempersiapkan dengan sungguh-sungguh untuk membahagiakan saya dan Ibunya juga untuk masa depannya. Meskipun sempat putus asa berkali-kali, tetapi, anak saya selalu mengatakan ada seseorang yang harus ia perjuangkan. Kadang ia memang suka lelucon. Iya kan, Satria?”
Aku mengangkat kepalaku dengan perlahan. Satria ada di hadapanku, ia tersenyum malu. Air mataku tumpah. Segenggam kekuatan telah menghidupkan kembali detak hati yang sempat berhenti. Tanpa kusadari, Tuhan telah memintaku untuk berusaha merubah alur, namun tidak untuk mengubah aktor.
“Assalamu’alaikum, Putri. Aku kembali.”