Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sembari menyeruput teh, mataku terus tertuju pada laki-laki di seberang kubikelku. Matanya tampak sepaneng menatap layar monitor di depannya. Aku heran, Kamau seperti tidak dapat diganggu gugat ketika sedang bekerja. Padahal ini jam sepuluh pagi, ada waktu sepuluh menit untuk sekadar minum teh dan keluar ruangan menghirup udara segar. Tapi tidak untuk Kamau. Meski di sekitar kubikelnya berisik dengan candaan, Kamau tetap melanjutkan pekerjaannya.
Aku memakluminya meskipun sedikit heran. Sikapnya tidak pernah berubah sejak SMP. Perubahan Kamau hanya tampak di fisiknya yang tambah tegap dan tampan.
Aku juga heran, tiga tahun tak berjumpa tapi kini kami satu kantor. Seperti saat SMP dulu, tak pernah sekata pun dia bicara kepadaku kecuali untuk urusan penting seperti soal pekerjaan. Waktu satu tahun ini aku merasa dia adalah orang yang bertambah angkuh. Ya, mungkin saja dia sudah terpengaruh dengan kehidupan di kota, dan setelah pulang ke kampung halamannya dia menjadi lupa.
“Kalna, nanti kirim faksimile ini ya,” aku hampir tersedak ketika Ruri menyodorkan kertas dari belakang.
“Eh, oke. Oh ya Ri, kamu tahu Kamau sedang mengerjakan apa? Ini jam istirahat loh,” tiba-tiba saja aku ingin mengetahui keadaan Kamau.
“Dia habis kena semprot sama Pak Heru. Laporan keuangannya belum kelar, kayaknya dia lagi kelarin itu deh,” Ruri menjelaskan sambil memelintir sisa rambutnya yang menjuntai. Karyawan paling peduli dengan rambut itu kemudian pamit ketika jam istirahat pendek hampir selesai.
Aku masih memerhatikan Kamau. Wajah tampannya terlihat kusam. Sesaat dia menengok arlojinya. Lalu dia beranjak, dan entah bagaimana aku ikut beranjak. Sebelum aku pergi ke toilet, aku menghampiri meja Kamau, kuletakkan sebotol mineral.
Usai dari toliet, kubikel-kubikel di ruangan sudah banyak terisi. Ada sesuatu yang menohok jantungku. Mineral yang kuletakkan di meja Kamau tiba-tiba di atas mejaku dengan tempelan memo.
Untuk Kalna,
Kamu lebih haus dari saya. Saya nggak makan, pusing cuma butuh air kran.
Aku tidak dapat menyembunyikan kekagetanku. Setelah duduk mataku tak bisa lepas dari Kamau. Tapi laki-laki super jutek itu tidak mengarah kepadaku. Wajah dan rambutnya basah. Entah rasa apa yang berkecamuk di dalam hatiku. Sejurus kemudian, mata Kamau mengarah padaku. Mata kami saling bertemu. Dia kemudian melempar senyum. Seperti ada monster di dalam perut. Aku hanya dapat membalas senyumnya dengan ikut tersenyum. Kuraih botol mineral bermemo itu. Botol yang tiba-tiba bisa berbicara. Sungguh pagi ini aku seperti tengah minum air tersegar di dunia.