Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tubuh gadis dan pria muda itu tergeletak berlumuran darah. Lehernya robek sangat lebar hingga tulang lehernya terlihat. Kondisi yang sangat mengenaskan. Anehnya dua orang itu memiliki luka yang sama. Seperti digigit oleh binatang buas.
Beberapa hari setelahnya, ditemukan kasus yang sama. Kali ini seorang gadis yang sedang mencuci pakaian di sungai. Ia ditemukan bersimbah darah di pinggiran sungai di sore hari. Air sungai yang jernih menjadi merah karena darah gadis tersebut. Dan luka robek di leher gadis itu sama persis dengan gadis dan pria muda sebelumnya. Selalu di bagian kiri leher.
Warga mulai gempar. Bertanya-tanya apakah ini ulah binatang buas.
Kejadian itu terus berulang. Korbannya selalu gadis dan pria muda. Dengan luka yang sama. Sudah hampir ada 10 korban.
“Kurasa ini bukan ulah binatang buas.” Frea berkata dengan mata yang berlinang air mata. Kali ini adik perempuannya yang menjadi korban.
“Kami juga mulai curiga ini bukanlah ulah binatang.” Seorang ibu mengelus pundak Frea, mencoba menghibur.
Para warga yang berkerumun mengangguk-angguk setuju. Para lelaki dewasa mulai mengangkat tubuh adik Frea dan akan segera memakamkannya.
“Apakah ada penduduk desa yang memakai ilmu hitam?” seorang bapak yang tidak ikut membawa tubuh adik Frea mulai membuat spekulasi.
“Kurasa itu sangat tidak masuk akal.” Aku menanggapi dengan wajah datar.
Si bapak tadi tidak terlihat tersinggung oleh tanggapanku. Namun aku justru mendapat tatapan menusuk dari Frea.
“Jika memang ini adalah ulah manusia dengan ilmu hitam, bagaimana?” ada nada tidak menyenangkan ketika Frea menanyakan itu padaku.
Aku hanya diam. Malas menanggapi.
Hal ini memang mengerikan. Namun apakah ilmu hitam adalah sebuah kesimpulan yang bisa diterima?
Setelah hari itu, Frea menjadi dingin padaku. Dan setiap kali bertemu tatapan matanya selalu menusuk.
Hingga ia mengatakan, “Kau yang melakukannya!” ia menunjuk wajahku di depan kepala desa.
Pagi ini rumahku menjadi tempat berkumpul untuk rapat bulanan. Dan rapat kali ini membahas tentang tewasnya muda-mudi dengan cara yang mengenaskan itu.
“Nak Frea tidak bisa menuduh sembarangan seperti itu.” kepala desa sok bijaksana. Padahal aku merasakan tatapan matanya padaku juga sama dengan tatapan mata Frea padaku.
“Maksudmu aku yang memakan leher manusia-manusia itu? kau punya bukti jika aku yang melakukannya?” aku mulai marah. Seharusnya memang aku diam saja.
“Aku akan membuktikannya.” Frea terlihat yakin. Aku tidak tahu mengapa ia seyakin itu.
Maksudku, ini konyol.
Setelah warga yang rapat pulang, Frea masih berdiri di depan rumahku. Ia akan mengawasiku, katanya. Aku biarkan saja.
Beberapa jam setelahnya, Frea tewas.
Dengan luka yang sama.
Pamanku yang menemukannya. Aku lari keluar saat ia berteriak minta tolong.
“Makhluk itu melakukan hal keji ini di depan rumahku.” Aku mengepalkan tanganku.
Warga mulai ramai berdatangan.
Dan kepala desa bertanya, “Di mana Alice?”
“Aku di sini.” Aku tepat di depan kepala desa.
Tapi ia seperti tak melihatku.
“Paman.” Aku memanggil paman yang ada di sampingku, ia juga tak melihatku.
Semua orang seperti tidak melihat kehadiranku. Ada apa?
Aku berlari ke dalam rumah, menghampiri cermin besar di ruang tengah.
Dan bayanganku tidak ada di sana.
“Aku melihat Alice keluar dari jendela belakang, satu jam yang lalu.” sayup suara seseorang dari luar.