Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semalaman adikku, Tri, tak bisa tidur. Aku pun tak bisa tidur, juga ayah dan ibu yang menjaganya. Adik semata wayangku itu terus merintih sambil memegang perutnya. Ibu sudah bertanya perihal datang bulan, tapi katanya tidak. Nenek menyimpulkan bahwa Tri sedang kena guna-guna. Aku tidak percaya. Tapi apa boleh buat. Kami tinggal di daerah yang jauh dari kota. Tidak ada dokter, dan mantri pada hari Minggu pasti tidak di tempat.
“Kenapa tidak sejak semalam kau dan Tarjo mengirim surat ke Mbah Karto?!” ucap nenek sedikit sewot.
Di kampung kami ada seorang laki-laki tua yang berpakaian serba hitam bernama Mbah Karto. Karena aku kuliah di Jogjakarta dan hanya pulang ketika akhir pekan, maka aku tak begitu mengenalnya. Waktu kecil aku takut mendengar mitos Mbah Karto yang keluar dari mulut bocah-bocah di desaku. Sejak masuk SMP aku tak lagi di kampung, jadi hanya mitos yang dapat kudengar hingga saat ini. Lagipula, aku sedikit meragukan.
“Diki, coba antar surat ke Mbah Karto. Tahu kan rumahnya? Di ujung kampung, dekat dengan hutan bambu,” ucap ibu kemudian sembari menyodorkan sebuah amplop.
Aku masih diam. Sejujurnya aku tak bisa mencerna ucapan nenek dan ibu. Apa hubungannya Mbah Karto dengan surat?
“Kalau mau minta bantuan ke Mbah Karto, harus pakai surat. Bahaya kalau ngobrol secara langsung,” ayah yang sedang memperbaiki tungku di dapur kemudian angkat bicara. Aku masih tidak paham.
Sejurus kemudian, aku pergi ke tempat yang diarahkan oleh ibu. Kali terakhir aku melihat Mbah Karto adalah ketika lulus SMP. Itu pun dari kejauhan. Aku pergi tanpa membawa surat yang ibu berikan. Aku pikir akan terlalu lama jika memakai surat, kemudian menunggu konfirmasi dari laki-laki tua yang berpakaian serba hitam itu. Tadi, sebelum berangkat ibu dan nenek memarahi ayah. Kata perempuan-perempuan hebat itu aku tidak boleh ke rumah Mbah Karto sebelum lewat jam delapan pagi. Kata mereka lagi, sebelum jam delapan biasanya Mbah karto sedang melakukan ritual membakar dupa. Jangan berani-berani mengganggunya. Tapi aku tidak peduli, aku lebih peduli dengan kata-kata ayah. Ayah menyuruhku untuk pergi karena Tri sudah semakin pucat.
Kulirik arloji di tangan. Masih jam setengah delapan. Aku sudah berada di rumah Mbah Karto. Asap mengepul dari ujung rumahnya. Tapi baunya bukan dupa. Malah wangi pandan. Aku penasaran. Kuketuk pintunya. Tidak lama, pintu dibuka. Meski agak kaget, aku berusaha memasang wajah santai.
“Saya Diki, Mbah. Saya mau minta tolong Mbah untuk sembuhkan adik saya di rumah, adik saya...,” belum sempat meneruskan ucapanku, Mbah Karto berlalu sambil memberikanku kode untuk mengikutinya. Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Rumah Mbah Karto gelap karena minim ventilasi. Ia mengajakku ke bagian belakang. Tanpa ucapan, Mbah Karto menyuruhku duduk, lalu memberikanku piring. Aroma daun pandan semakin menyeruak. Aku duduk di kursi kayu di dapur Mbah Karto.
“Setelah kita sarapan, kita pergi ke rumahmu. Makan dulu, Nak.” Mbah Karto menaruh nasi ke piring. Aku tak bisa menahan senyumku. Senyum lega dan senyum senang.
“Baru kali ini aku sarapan dengan anak muda sepertimu. Mbah cuma punya ikan asin dan sambal goreng. Makanlah, Nak,” ucap Mbah Karto sambil memamerkan gigi-gigi hitamnya. Aku mengangguk dan ikut terkekeh.