Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gadis itu terbangun ketika waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi.
Tiba-tiba ia mendengar suara burung gagak yang membangunkannya dari tidur. Ia menoleh ke jendela, tirainya bergerak-gerak karena tertiup angin. Di sana, ia melihat seekor gagak hitam bertengger di bingkai jendela. Sebelum gadis itu sempat bangkit dan mengusirnya, gagak itu menghilang.
Hujan sepanjang hari baru saja berhenti. Langit berwarna gelap. Menyisakan keheningan dan kabut tipis yang memenuhi pemakaman, terus menyebar menuju perempatan kota.
Viona membanting keras pintu depan rumahnya. Ia melangkah cepat meninggalkan pekarangan. Matahari baru saja sempurna terbenam.
“Akk!”
Gadis itu terkejut. Spontan, ia mendongakkan wajah. Tidak jauh darinya, seekor burung gagak bertengger di salah satu lampu jalan. Memerhatikannya. Burung gagak yang sama yang ia lihat di jendela kamarnya. Kedua manik segelap malam makhluk itu menatapnya tanpa berkedip. Gagak itu sedikit memiringkan lehernya, mengawasi dengan antusias.
“Pergi!” seru Viona. Ia bergerak sambil mengibas-ngibaskan tangan mengusir burung gagak itu. Gagak itu menggaok. Viona tetap berseru dan mengusirnya dengan kasar, membuat gagak itu akhirnya terbang pergi.
Tidak ada seorang pun di perempatan kota. Jam kota berdentang, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Viona sudah menghabiskan banyak waktu sampai berjam-jam di luar. Angin berhembus, hujan mulai turun kembali. Ia segera berteduh di halte terdekat.
Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki berpakaian serba hitam juga ikut berteduh di halte tersebut. Laki-laki itu tidak tampak kedinginan, dia juga tidak terlihat terburu-buru. Viona hanya mengamatinya sekilas, tapi tidak menyapa. Sekitar lima menit kemudian, laki-laki itu mengajaknya bicara.
“Permisi.” kata laki-laki berbaju hitam. “Apa yang sedang Anda lakukan di sini?”
Viona menoleh. “Kau tidak lihat sekarang sedang hujan?” balasnya ketus sambil menggosok-gosok kedua tangannya.
“Oh, begitu. Memangnya, Anda tidak ada urusan lain selain keluar malam-malam di tengah hujan hanya untuk berteduh di halte ini?” tanya laki-laki itu lagi.
Viona menoleh lagi, kesal. “Bisakah kau tutup mulut dan tidak banyak bertanya?”
Laki-laki itu mendekat. “Apa aku mengganggumu?"
Hujan mulai reda, menyisakan gerimis kecil. Tanpa berkata apa-apa lagi, Viona langsung beranjak pergi dari halte.
Ia kembali berkeliling kota selama hampir dua jam. Tidak menyadari waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam.
Ketika berjalan pulang, Viona merasakan sesuatu yang aneh di sekitarnya. Kabut-kabut yang entah dari mana mulai merayap dan mengerubunginya. Jalanan menjadi tidak terlihat. Lama kelamaan kabut semakin tebal dan terus menebal.
Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Viona segera berlari. Ia berlari sekuat tenaga, secepat yang ia bisa. Rasa panik dan takut menghantuinya. Kabut-kabut itu terus merayap mengejarnya.
Ia berlari semakin jauh. Kabut-kabut itu berada di belakangnya. Viona menoleh beberapa kali, berusaha sekuat tenaga menghindari gumpalan asap putih itu. Keringat dingin mengucur di dahi dan pelipisnya. Di belokan sebuah gedung tua, Viona akhirnya berhenti. Ia menarik napas panjang. Dan tiba-tiba ia berteriak. Teriakannya membelah langit malam. Beberapa detik kemudian teriakan itu berhenti.
Malam kembali sunyi senyap, meninggalkan Viona tergeletak di jalan dengan darah segar yang masih mengalir dari luka gigitan di lehernya.