Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Muncul sebuah skenario di mana aku dan dia duduk bersama. Menikmati segelas kopi susu di sebuah kafe kekinian di pinggiran kota, sebagai teman lama yang sudah lama tak pernah jumpa. Dia menyeruput kopi susunya dengan santai ketika aku nekat berbicara, "aku mimpi kita nikah. Sampai dua kali, lho!"
Seketika dia tersedak. Kedua matanya melotot tak percaya dengan diiringi kernyitan dahinya yang penuh tanda tanya.
"Kurang satu kali lagi nih, biar dapat piring cantik." Tambahku penuh canda ditengah suara batuk-batuknya yang tak kunjung reda. Aku tersenyum. Ku letakkan kedua tanganku di atas meja kemudian berkata, "kaget, ya?"
"Semua orang juga bakal kaget kalau dapet cerita begitu."
"Aku kan cuma cerita aku mimpi kita nikah. Bukan ngajakin nikah. Lagian, kamu sudah punya incaranmu sendiri, kan? Aku gak seegois itu lah minta dinikahin hanya karena mimpi."
Dia diam sejenak sambil meneruskan batuknya yang belum tuntas.
"Terus maksudmu apa cerita kayak gini?"
Tawaku seketika meledak. Tampang seriusnya terlalu lucu untuk aku abaikan.
"Serius amat ih, santai aja! Aku cuma pengen ngasih tahu. Aku nggak butuh tanggapan apa-apa dari kamu. Perjuangkan aja apa yang ingin kamu kejar." Ucapku, masih mencoba menahan tawa yang tersisa. Ku seruput kopi susuku pelan seraya menyandarkan punggung ke kursi agar lebih santai. "Tapi kalau kamu berubah pikiran, aku bisa jadi alternatif pilihanmu." Aku menyeruput kopi susuku semakin cepat, seirama dengan detak jantungku yang tak karuan. Dia mungkin melihatku terlalu santai, tapi di dalam sini aku berkali-kali merutuki kenekatanku yang cukup bodoh ini.
Aku bisa merasakan atmosfir kecanggungan yang kental di antara aku dan dia. Sial, semakin lama udara di sini terasa semakin berat, dan aku terus mencoba bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.
Tring...Tring!
Ponselku tiba-tiba berdering. Pengingat yang aku set sejak pagi tadi memberitahuku bahwa aku harus segera pergi. Bagus. Semakin cepat aku pergi dari sini akan semakin baik. Aku segera mengemasi barangku dan ku lambaikan tanganku. Pergi. Menjauh dari laki-laki yang masih tampak kebingungan dengan kalimatku yang sembarangan.
Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap. Mungkin seharusnya aku tetap diam. Tidak seharusnya aku merusak momen langka yang belum tentu terjadi lagi di kemudian hari. Mengenalnya sejak mengikuti sebuah pelatihan di Semarang, kemudian berpisah dan menjadi teman berbalas WA dan IG Story selama beberapa tahun. Begitu mendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali, aku malah merusaknya dengan kalimatku yang terlalu berani. Mau bagaimana lagi, diam-diam mengagumi laki-laki yang mencintai gadis lain bukanlah hal mudah. Perlahan aku bisa lupakan segala harapan tentang laki-laki di hadapanku ini. Tapi seketika usaha itu terasa sia-sia lantaran mimpi sialan itu. Dadaku kembali sesak dijejali harapan yang aku kubur dalam-dalam. Dan ketika aku bertemu dengannya, aku hanya berpikir untuk meluapkannya.