Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kekeringan daerah Laut Jawa di sepanjang wilayah Kabupaten Karawang Jawa Barat sangat memprihatinkan. Husen menyisir bibir pantai demi mengetahui apa yang salah. Dia merenungi dan menatap wajah laut sebelumnya hingga rasa haus akan kemelut pada daerahnya terjawab sudah.
Husen merasakan kebimbangan. Tatapan tak menghasilkan jawaban. Hasrat memuncak. Keingintahuan membludak. Husen ingin bertanya pada rumput yang bergoyang, mengapa ikan tak lagi datang?
Satu persatu nelayan gulung tikar. Tidak mau keluar rumah. Duduk melamun sembari menyalakan tembakau. Bagaimana tidak, mata pencaharian utama penduduk pesisir pantai putih ialah nelayan. Apabila perang yang telah dimulai, maka kami akan semakin jatuh miskin. Tidak ada lagi yang bisa kami jual, selain apabila kami berputar arah mata pencaharian.
Saat siang menerkam dengan terik matahari yang tepat diatas kepala. Para nelayan berkumpul membicarakan nasib mereka. Nasib Bapak Husen juga. Tak hanya nelayan, kami pun khawatir jika esok lusa sudah tidak akan ada lagi kehidupan di laut.
“Kita harus ganti profesi” teriak salah satu nelayan dalam sesi perbincangan.
Sebulan berlalu
Panggil saja dia Husen, berumur 17 Tahun. Anak lelaki tetua Bapak Suhendi. Anak nelayan asli dari kampung Cilamaya. Salah satu generasi yang bisa membaca tetapi tak sempat bersekolah, selain Suhendi. Diajari oleh wisatawan lokal saat berumur 9 tahun, dia diberinya panduan membaca.
Para nelayan yang semula sedang berkutat pada kegundahan. Mereka mendatangi Husen dan Suhendi dengan rasa penasaran.
“Sedang menanam apa kalian?” teriak salah satu nelayan.
“Kemari, kemari. Kami akan memberikan banyak ikan untuk kampung ini.” Gaya bicara Suhendi sudah mirip orang yang sedang berkampanye.
Mereka langsung menghadang. Mendekati karena tertarik dengan kata ikan-ikan.
“Ini, ini tanaman mangrove yang akan menyelamatkan kita, Bapak-bapak. Mari berteriak” Suhendi menggelegar.
Husen ikut bersorak-sorai. Diiringi suara parau nelayan yang sedang berada diujung tonggak keputus asaan.
Mari bergabung, Bapak-bapak” teriak Suhendi lagi.
Mereka terhuyung-huyung mendekati karung besar yang terlihat mirip harta karun. Mendengarkan pelatihan dari sang ketua barisan, Suhendi.
Seksama, mereka mendengar suara lantang Suhendi. Husen yang menyiapkan ajir dan mengukur jarak tanam. Sesekali Suhendi bergema dan menyulut semangat nelayan.
Saat petang menjelang, usai pembibitan di tanam. Suhendi merapatkan barisan bersama Husen. Dia memberikan penyuluhan mengenai tanaman mangrove yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomian warga. Mereka berdecak kagum melihat penjelasan Suhendi yang sesekali membaca buku tanaman mangrove, yang Husen dapat dari Kepala Dusun beberapa hari lalu.
Malam hari
“Husen, Bapak minta dijelaskan lagi.” Pintanya sembari duduk di serambi rumah menyeruput kopi pahit yang kini telah menjadi manis baginya.
“Tanaman mangrove itu tempat bagi ekosistem alam, Pak. Kalau kita menjaga laut dan mulai menanam mangrove. Perlahan, perekonomian kampung kita akan kembali. Malah akan maju. Sebab, bukan hanya ikan. Akan ada udang, kepiting, semuanya akan betah karena tanaman mangrove. Juga sebagai penyaring alami. Kampung kita akan hidup dengan damai, Pak.” Jelas Husen.
Bapak bertepuk tangan. Memanggil Emak yang sedari tadi mendengarkan. Bapak sengaja meminta Husen kembali menjelaskan, untuk menunjukkan rasa bangganya memiliki anak seperti Husen kepada Emak. Husen hanya tersipu malu.
Selesai