Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Hei, Nek.” Yumi melangkahkan kakinya ke luar pintu rumah dengan secangkir teh di tangannya. “Aku membuat teh raspberi untukmu.” ia menaruh cangkir teh di atas meja.
“Terima kasih, nak.” Nenek tersenyum. Beliau menyeruput teh itu berlahan, menikmatinya sesaat, lalu menaruhnya kembali ke atas meja. Sembari merajut, ia berkata. “Tehmu mengingatkanku pada teh yang biasa kakekmu buatkan untukku. Walaupun sebenarnya buatanmu lebih cocok terhadap rasa lidahku.”
Yumi tertawa kecil. “Aku tahu kakek tidak terlalu suka manis.”
“Kau mengenal kakekmu dengan baik."
“Dia dulu sering mengajakku berkebun dan pergi memancing, lalu minum kopi setelahnya. Padahal, aku tidak suka kopi hitam.” Yumi mengatakannya sambil mengingat masa kecil dengan kakeknya dulu.
Salah satu sudut bibir Nenek terangkat. “Dari dulu dia memang seperti itu. Dia memiliki jiwa yang tua."
Yumi terkekeh. “Bagaimanapun juga, dia memang seorang kakek-kakek.”
Mereka berdua tertawa.
Yumi menatap halaman rumput. “Apakah kakek sudah menyukai kopi dari dulu?”
Seraya memasukkan seuntai benang di antara kain rajut, Nenek menjawab. “Ya. Kakekmu memandang kopi sebagai sesuatu yang kaya. Penuh cita rasa. Sederhana. Penyatu berbagai macam orang dan kalangan. Bahkan obrolan yang nikmat sering datang dari secangkir kopi."
Yumi mendengarkan kata-kata neneknya sambil terus menatap halaman yang disirami cahaya jingga. Hal-hal sederhana memang menghangatkan hati. Tidak neko-neko. Tidak mengharapkan lebih. Kadang ia tidak mengerti kenapa seseorang bisa terlihat sangat bahagia hanya dengan hal kecil, secangkir kopi misalnya, sesuatu yang sangat sederhana.
Ia menoleh kembali pada neneknya, memandang cangkir teh di atas meja. “Bagaimana denganmu?"
“Oh, sayang, aku tidak sesederhana itu.” goda Nenek, tersenyum simpul.
Yumi tertawa, diikuti satu pemikiran lucu setelahnya. Orang-orang yang dalam, adalah orang-orang yang dapat merasakan hal-hal yang sangat sederhana.
Seperti kakeknya.
“Bagaimana kau tahu kau dan kakek saling memahami?” tanya Yumi.
Nenek menghentikan pekerjaannya sejenak. “Kakekmu tahu aku menyukai segala jenis minuman. Katakan saja dia tahu bagaimana caraku memandang kopi, teh, dan alkoholku. Dan tahu kapan harus membuat atau mengambil yang mana."
“Wow, Nenek, kau meminum alkohol juga?” tanya Yumi tercengang. Untuk usianya, neneknya masih sehat dan kulitnya juga berseri.
“Sayang, kau tidak tahu apa saja yang sudah kulakukan dan alami.” jawab neneknya sambil mengedipkan sebelah mata pada Yumi.
Yumi berdecak. Ia tahu neneknya adalah seseorang yang luar biasa. Pandangannya beralih lagi. Matahari sudah terbenam, hanya meninggalkan sisa-sisa warna kemerahan dan jingga di sekitarnya. Dirinya teringat satu hal yang mengganggunya sepanjang siang, membuatnya tidak nyaman.
“Aku seharusnya pergi ke pantai sore ini,” Yumi berkata. “Tapi tiba-tiba saja temanku membatalkannya di menit-menit terakhir. Padahal, aku sangat menantikannya.” Ia menyelesaikan kalimatnya dengan kepala tertunduk, masih merasa kecewa.
Nenek memandanginya sambil tersenyum lembut. Cucunya tidak memiliki hari yang cukup menyenangkan hari ini.
Setelah beberapa saat, Yumi mengangkat wajahnya. “Apakah kakek pernah mengingkari janjinya padamu?"
“Tidak, dia tidak pernah melakukannya.” Nenek memiringkan kepalanya sedikit. “Atau mungkin sekali."
“Apa itu?"
“Dia berkata dia akan pergi setelah aku,” senyumnya tipis dan halus. Ia mendongak pada langit malam, tatapannya jauh. “Namun ternyata, dia meninggalkanku lebih dulu.”