Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ah, Los Angeles membuatku sakit kepala."
Yuri berjalan dengan wajah masam sambil menggaruk-garuk kepalanya. Di tangan kanannya ada sebuah peta, dan tangan kirinya menarik koper. Seharusnya ia dijemput oleh temannya di bandara, tapi karena satu dua hal temannya itu tidak bisa datang menjemput. Yuri menggerutu. Penerbangan dari Seoul ke Los Angeles juga sudah menghabiskan banyak tenaga, ditambahkan harus mencari alamat rumah orang yang belum pernah ia kunjungi di negara asing seorang diri. Entah kenapa juga paket internet roaming internasionalnya tidak bekerja.
“Aku akan langsung menghajar Song ketika bertemu dengannya.” gumam Yuri dengan bibir mencebik. “Enak saja dia menelantarkanku. Padahal dia juga yang mengundangku untuk berlibur."
Sembari melebarkan petanya, ia mendongak melihat papan jalan. Rodeo Drive. Yuri sama sekali tidak tahu apakah tempat tinggal Song sudah dekat atau belum. Ia sudah lelah dan bad mood, perutnya juga lapar. Ia duduk di salah satu bangku panjang di dekat air mancur. Aroma harum roti lapis menguar di sekitar hidungnya. Yuri berdiri menuju stan makanan untuk mengisi perut.
Selagi menunggu pesanannya, seseorang berdiri di sebelah Yuri. Dari wajahnya, cowok itu sepertinya orang Asia, tapi bukan jenis wajah-wajah orang Korea.
“Kau baru tiba di Los Angeles?” tiba-tiba cowok itu mengajaknya bicara.
Mendengar nada ramah dari suaranya dan fakta bahwa dia juga sesama orang Asia, ada kelegaan membanjiri Yuri dan ia tersenyum. “Ya. Aku baru tiba sekitar tiga jam yang lalu."
“Sedang jalan-jalan bersama teman?"
“Tidak. Aku sendiri. Sedang mencari rumah temanku."
Si penjual roti lapis memberikan pesanan Yuri.
Cowok itu mengangkat ponsel ke telinganya. “Begitu. Baiklah, sampai nanti.” kemudian dia berlalu begitu saja.
Yuri bingung melihat sikapnya, tapi tidak ambil pusing. Ia merogoh saku jaket dan menemukan ponsel dan dompetnya tidak ada. Matanya langsung melotot. Yuri meraba-raba seluruh pakaiannya. Pandangannya tersentak ke depan.
“Hei!” teriaknya. Ia langsung berlari cepat mengejar cowok itu yang sudah menghilang entah ke mana. Napasnya terengah-engah. “Sial!” umpatnya, hampir menangis.
***
Didi baru saja keluar dari toko swalayan. Ia membawa kantong kertas besar di lengan kirinya.
Cowok itu mengeluarkan dompet berwarna cokelat muda. “Sebuah berkah hari ini.” ujarnya dengan senyum lebar. Ia membuka dompet itu dan mengeluarkan satu kartu identitas. “Untuk sementara waktu aku akan menyimpannya.” Didi membaca tulisan yang ada di sana. “Jauh juga alamatnya. Tapi tidak apa-apa, suatu saat aku pasti akan membalasnya.” ia memasukkan kartu itu ke dalam saku celana dan membuang dompetnya.
Di perjalanan ia melihat seorang tunawisma di pinggir sebuah bangunan. Wajahnya menunduk dalam di antara kedua lututnya. Tubuhnya juga kecil. Merasa iba, Didi mendekat untuk memberinya sepotong bungkus roti.
“Ini ada roti untukmu."
Perlahan, tunawisma itu mengangkat wajahnya. Pandangan mereka bertemu.
Sontak seketika mata mereka berdua terbelalak.
“Kau.. KAU!” seru gadis itu menegakkan lehernya, ia segera berdiri. “Kau yang mencuri dompetku!”
Didi terkesiap. Ia berbalik, mengambil langkah seribu, dan berlari pontang-panting menyelamatkan diri.
“Hei, kau jangan lari!” teriak Yuri mengejar cepat di belakangnya.