Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cerita ini santer terdengar di suatu daerah. Kamu tidak boleh sembarangan mengambil uang yang tergeletak di jalan. Bisa jadi itu adalah uang berdarah.
Sore hari menjelang maghrib Supriadi memutuskan untuk kembali ke rumah saudaranya. Sebelumnya tadi Supriadi habis dari pasar. Di pasar ia membantu saudaranya berjualan di toko sanggul. Supriadi yang baru tamat SMK sudah dua bulan membantu saudaranya berjualan. Daripada di rumah menjadi pengangguran dan mau kuliah pun tidak sama sekali ada biaya, begitu pikirnya.
Supriadi disuruh pulang duluan kerumah karena saudaranya masih ada urusan di tempat lain. Saat berjalan kaki, Supriadi kehausan di jalan. Ia cuma bisa menelan ludah karena tidak membawa uang. Memang, ia jarang membawa uang kontan di kantongnya. Takut jadi boros, katanya. Supriadi mengandalkan makan dan minum dari saudaranya. Uangnya, ia tabung untuk biaya kuliah.
"Ah nanti saja minum di rumah," kata Supriadi. Jarak ke rumah saudaranya masih tiga kilo meter lagi. Supriadi menendang nendang batu kecil untuk mengalihkan perhatiannya.
Di ujung pasar Supriadi melihat ada uang yang tergeletak cuma dua meter didepannya. Beberapa orang melewati uang itu tanpa memperhatikan. Supriadi berjalan cepat dan langsung menginjak uang itu lebih dahulu. Lalu wangi yang aneh tercium ke hidung Supriadi. Ia melirik kiri dan kanan memastikan situasi aman. Ada bapak bapak setengah baya yang ternyata terus memperhatikan Supriadi. Supriadi mengurungkan niatnya mengambil uang itu. Ia diam untuk sementara waktu sambil menginjak uang incarannya.
Bapak itu mendekati Supriadi. Ia melihat Supriadi dari atas sampai bawah. Situasi itu membuat Supriadi tidak nyaman.
"Kenapa pak?"
"Kamu tadi lihat uang di sekitar sini?"
"Ngg ... Anu. Uang apa yah pak?"
"Kalau kamu lihat uang itu, kamu harus hati hati. Itu uang berdarah."
"Hah?"
"Uang berdarah, Uang tumbal. Kamu mungkin masih baru disini makanya tidak tahu ceritanya. Tapi orang disini sudah tahu semua. Pokoknya hati hati. Saya cuma mau kasih tahu itu saja," Kata bapak itu.
"Saya tidak lihat ada uang pak."
Bapak itu terdiam sebentar dan menatap Supriadi.
"Yang penting saya sudah kasih tahu. Saya tidak tanggung jawab kalau terjadi sesuatu." Bapak itu pergi meninggalkan Supriadi.
Supriadi bukan orang yang percaya mitos. Ia mengangkat kakinya dan mengambil uang itu. Ada dua lembar seratus ribu. Mata Supriadi berbinar binar. Dari belakang Supriadi ada mobil pick up yang mengebut dan hampir menyerempetnya. Untung saja Supriadi menghindar. Ia kali ini selamat dari marabahaya. Lalu Supriadi dengan hati yang girang pulang kerumah saudaranya.
Supriadi sudah sampai di depan rumah. Dari tadi ia merasakan punggung nya berat dan badannya seperti remuk semua. Ia membentangkan uang yang tadi diambilnya. Ada noda darah di permukaan uang itu. Supriadi semakin lelah. Ia memutuskan untuk istirahat sebentar di teras. Saking lelahnya ia pun terlelap.
Jam sembilan malam saudara Supriadi Pulang. Ia melihat Supriadi tertidur. Ia membangunkan Supriadi agar masuk kedalam, tetapi tidak di respon. Ia memanggil Supriadi berkali kali tetapi tidak ada jawaban. Saudaranya lalu menggoyangkan badan Supriadi, tetapi Supriadi tetap tidak bangun. Ia memegang badan Supriadi. Kulit Supriadi sudah dingin seperti orang mati. Saudara Supriadi panik lalu memanggil para tetangga. Tetangga terus berdatangan melihat Tubuh Supriadi yang meregang nyawa.