Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tahun 2020, Bulan Dua.
Aku adalah anak anjing yang baik dan penurut. Kepada pemilik yang selalu menggenggam tali kekangku, aku sebisanya tidak banyak menuntut. Berjalan bersama mengitari lingkungan tetangga, kota, sekolah juga taman bunga. Mengambilkan koran, memasak di dapur, hingga mencuci pakaian. Bermain tangkap bola, atau disuruh lari mengejar mimpi sang tuan, aku tidak masalah dengan itu semua. Karena, aku adalah anak anjing yang baik dan penurut.
Pemegang tali kekang pertamaku adalah wanita yang baik. Kesabaran dan kegigihan ada di dalam dirinya, berkesinambungan, selaras melengkapi kehidupan. Ia secara teliti memberikan contoh sebelum menitahkan sesuatu. Ia akan menghardik apabila ada salah, tetapi juga memberi hadiah jikalau pekerjaan selesai tanpa celah. Aku suka ia, dan pasti ia juga suka aku. Sayang, bola menggelinding dengan begitu cepat dan masuk ke selokan kemudian.
Setelah si wanita tak bisa kuajak jalan-jalan lagi, pemegang tali kekangku berikutnya adalah yang terburuk dari yang bisa dibayangkan. Pria yang kebalikan dari si wanita sebelumnya. Fakta bahwa mereka mengasuhku dalam waktu yang sama jadi aneh sekarang kalau diingat-ingat. Apa yang diberikannya sebatas aroma rokok dan sake yang menusuk hidung. Apa yang ditinggalkannya adalah luka yang sampai membuatku susah berjalan, jangankan berlari.
Kukira menjadi anak anjing yang baik adalah yang terbaik, sebab aku cuma perlu mendengarkan perintah pemegang tali kekangku. Tapi ternyata tidak. Semua itu tergantung pada siapa—atau seperti apa orang yang memegang tali kekang. Karena dia, aku akhirnya diam di tempat saja. Tidak menyuap makan, tidak meneguk minum. Hanya diam di dalam hujan menanti truk melindas, atau berharap kalau-kalau ada orang menendangku jatuh dari tepi jembatan.
Namun, itu tidak terjadi. Entah bisa dibilang keberuntungan atau tidak, ada yang meraih tali kekangku lagi. Mereka tidak kukenal, tapi salah satunya menggenggam tali kekang itu kuat-kuat. Bahkan sampai-sampai melingkarkan jari di sela-sela kalung leherku. Aku menolak dan mencakarnya, tapi dia bergeming. Tak kuasa aku bertahan, dan pasrah di tengah jalan. Pada akhirnya, aku dipeluk dan digendong salah seorang yang lain untuk pulang. Pulang ke rumah baru yang tidak kusangka dapat kumiliki setelah semua ini.
Sekarang, aku jadi anak anjing yang penurut lagi. Hari ini, bersama orang yang kupercaya memegang tali kekangku untuk kesekian kali, kami melakukan sesi review sebagaimana yang ditugaskan olehnya. Di ruang yang sepi, cuma dipenuhi rak buku, kami duduk saling berhadapan. Dalam senyap diam, diselimuti samar-samar udara dingin.
Tuanku ini baru saja melewati apa yang dinamakan slump. Masa-masa penuh kekosongan, yang merupakan derita sepenuhnya bagi para pencipta seperti dia. Betul saja, “kekosongan” itu masih terasa dari barisan kata di atas kertas yang kugenggam ini. Walhasil, komentar yang kuberikan pada karya barunya ini juga, “kosong”.
Wajahnya yang timbul rona merah sebab kedinginan itu seketika jadi masam. Balasannya hanya, “Maaf saja, ya!” dengan nada tidak terima. Tapi selintas kemudian ia menundukkan kepala, mengembus napas yang uapnya tampak di mata. Dengan satu tangan, ia naikkan syal yang melilit leher hingga dagunya tenggelam. Oh, Tuan, andai saja kau bisa memanjangkan rambut macam diriku, mungkin dirimu tak akan terlampau menderita begitu.