Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Inikah rumahnya Niko?” kepala Luna tersembul dari balik pohon. Bola matanya yang kecokelatan melirik ke kiri dan ke kanan. Ia memerhatikan satu pondok kecil yang berada di tengah pepohonan, dengan sebuah gunung sebagai latar belakangnya. Senyum mengembang di wajah gadis itu.
Luna melangkah perlahan-lahan menghampiri pintu pondok Niko. Ada papan kayu yang bertuliskan nama lengkap sahabatnya itu. “Sekarang saatnya aku untuk membalasnya.” gumam Luna sambil mengusap-usap tangannya. Ia berkacak pinggang. “Enak saja dia selalu datang tiba-tiba entah dari mana ke rumahku dan mengacaukan apapun yang sudah kubereskan. Belum lagi cowok itu makannya banyak sekali. Untungnya aku bertanya pada bibi toko bunga di mana Niko tinggal.” lantas ia tertegun sendiri. “Kalau dipikir-pikir lagi aku selama ini tidak tahu di mana rumah Niko, dia juga tidak pernah mengajakku berkunjung."
Ia mengintip ke dalam jendela, tidak ada siapa-siapa, hanya berisi perabotan rumah pada umumnya. Luna mengintip ke jendela satunya, Niko tidak terlihat dimanapun. Apa cowok itu sedang tidak ada di rumah?
Luna mendengus. “Ah, pada niatku datang kemari untuk merecoki dan merepotkannya.” kedua bibirnya mengulum ke atas, ia melirik kenop pintu. Gadis itu memutar kenopnya.
“Pintunya tidak terkunci!” seru Luna ketika pintunya mengayun terbuka. “Tentu saja, tipikal Niko. Dia memang teledor.” ia menyelipkan dirinya masuk. “Baiklah, aku akan main-main, sedikit memberantaki, di sini sembari menunggu dia datang."
Sedetik kemudian pemandangan yang ada di hadapannya adalah kapal pecah.
Alat-alat makan belum dicuci, gelas dimana-mana, noda-noda air menggenang, tumpukan pakaian kotor, bungkus-bungkus makanan instan. Luna menatap pemandangan itu dengan ngeri. Ia melangkah hati-hati dengan langkah besar-besar, takut menginjak apapun yang seharusnya tidak boleh diinjak.
Luna berjalan ke tengah. Ia melihat seluruh ruangan, dan menghela napas. “Apanya yang bisa kuberantaki? Rumahnya saja sudah tidak berbentuk seperti ini."
Selagi mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan dengan tampang prihatin, lampu belajar yang masih menyala di meja kayu menarik perhatiannya. Luna menghampiri meja kayu itu. Ada coretan lingkaran besar di salah satu tanggal pada kalender dengan huruf-huruf kapital bertuliskan HARI PAMERAN LUKIS PERDANA LUNA, yang berarti dua hari lagi. Di mejanya ada satu kotak hitam, dengan kertas kado yang belum dipotong dan satu jalinan pita yang belum dilipat bermotif bintang favoritnya.
Tatapan Luna melembut, ia tersenyum kecil melihatnya.
“Baiklah, kukira aku akan memberinya kejutan.” ujar Luna, wajahnya berseri. Untuk menghalangi dirinya membuka kotak hitam itu, ia mengambil sapu dan mulai membersihkan
Satu jam kemudian semuanya sudah rapi dan kinclong.
“Ah!” desahnya senang. “Sekarang aku hanya tinggal menunggu Niko pulang."
Hari semakin sore, langit sudah berwarna oranye dan sebentar lagi akan merubah gelap. Luna duduk di kursi Niko dengan tampang jengkel.
“Kenapa dia belum kembali juga!” serunya gusar. Ia menunggu beberapa lama lagi sampai matahari hanya tertinggal garis-garisnya saja.
Luna akhirnya pulang dengan kesal. Ia membersihkan rumah Niko untuk memberinya kejutan alih-alih merecokinya seperti rencananya semula, tapi cowok itu malah tidak datang! Dengan mendengus, ia membuka pintu rumahnya.
Pintunya tidak terkunci.
“Jangan bilang.."
Luna segera masuk ke dalam rumahnya, mendapati Niko tertidur di sofa ruang tamu, menunggunya pulang.