Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Lu mau, Ris? Ambil aja!" Pria bertubuh gempal menggeser gulungan uang kertas di samping cangkir kopi.
"Tumben, Bang. Lu gak doyan duit?"
***
Dua jam lalu, seorang pria tua berhenti di belakang Beni si copet kelas kakap Stasiun Depok Baru. Meletakkan sebilah kayu yang bergelantung aneka jajanan ala moda transportasi darat seperti kacang balado, tahu kuning, arem-arem, telur puyuh dan buah kupas.
"Dompet jelek itu, nggak ada isinya, Pak!" Ujar Beni.
Seorang pedagang asongan tengah memungut dompet di pinggir trotoar, bekas mangsa Beni.
"Sebentar anak muda!"
Beni membalikkan badan, menjauhkan ponsel dari telinganya. "Iya, Pak? Ada apa?"
Pria tua itu melerai tangan kiri Beni yang berkacak pinggang. Menyelipkan gulungan uang kertas merah.
"Terimalah! Uang ini tidak akan membuat perutmu atau perut keluargamu jadi sakit, tidak akan membuat hidupmu gelisah minimal dua hari ini."
Beni tercekat memandang uang pemberian Pak Jono. Dia tidak menyangka tangannya salah merogoh saku celana ketika beraksi tadi.
"Nak, dompet ini memang sudah jelek, tapi dia istimewa, ada ruang rahasia untuk menyimpan uang."
"Anak bungsuku yang membelikannya di Thailand, pakai gaji pertamanya sebagai TKW." Ujar lembut pedagang asongan lalu menyimpan dompet ke saku celana.
"Seriusan, Bang? Lu kelebihan omzet nyopet hari ini, nih?" Karis menyambar gulungan uang kertas.
"Serius lah. Besok lu juga boleh nyari mangsa di tempat gue" Laki-laki bertato di hadapan Beni tersedak kopi panas, ucapan itu sama halnya dengan pekerja kantoran yang mengajukan pensiun dini.
"Bang, lu mau kerja dimana? Apa ada yang mau nerima orang model kita jadi karyawan. Hampir semua orang tau, kita Mantan residivis, Bang!"
"Gue bakal kerja apa aja, Ris. Yang penting rejeki itu nggak bikin perut gue, perut keluarga gue sakit, gue capek terus-terusan nyari duit kotor kaya gini. Gue pengen hidup tenang."