Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kerut terbentuk di antara kedua matanya, ketika ia mengatakan itu. Bersamaan dengan tatapan tajam dari balik lensa kacamata dan bibir datar. Jelas-jelas itu adalah muka tak suka.
“Jatuhkan!” Mendengar seruan itu, aku menjatuhkan cutter di tangan. Selepas terdengar bunyi kecil benda menghantam tanah, cengkeraman pada tanganku pun terlepas. Aku menarik tangan yang habis diremas itu ke dekat tubuh, lalu membuat tiga langkah mundur.
Aku melihatnya lagi. Sosok siswi yang tiba-tiba muncul bagai udara musim dingin itu ... aku mengenalnya. Siswi itu bangkit sehabis memungut cutter di lantai, menampakkan wajahnya yang tadi cuma terlihat separuh. Namun, berkebalikan dengan tadi, sekarang senyum terkembang di bibirnya. Merubah kesan raut muka itu 180 derajat berbeda, dan aku agak takut karenanya.
Nama siswi itu adalah Fujiwara Amane, satu dari sekian sosok populer di sekolah ini. Tapi yang mengikat kami berdua adalah fakta bahwa dia salah satu orang yang menyelamatkanku dulu dari percobaan bunuh diri. Lebih jauh lagi, aku tidak mengetahui apapun mengenainya sebab kami memang jarang berbicara.
“Apakah dirimu hendak melakukan bunuh diri lagi dengan memotong urat nadi? Hmm, melihat posisimu sekarang dan letak bilah diarahkan tadi, sepertinya bukan. Self harm? Kau berpikir untuk menyayat tanganmu sendiri?” Semua tebakan itu ia sampaikan sembari memainkan cutter di antara jemari tangan kirinya.
Aku tidak membalas apapun. Ketika ditanya, “Kau tidak mau menjawab?” pun, aku cuma menundukkan kepala sambil mengelus tangan yang tadi sempat ia genggam. Sesekali aku melirik, melihat raut mukanya. Melihat gerakan mulusnya memasukkan cutter tanpa pemilik itu ke dalam tas yang diapit tangan kanannya.
“Bungkam, ya. Kata-katamu masih teruntuk Kreator saja, rupanya.” Ia melanjutkan. Di toilet ini, hanya ada kami berdua. Namun sudah pasti, kehadirannya yang dari luar kelihatan sempurna itulah yang mendominasi semua. Ketika ia melangkah maju, aku pun semakin mundur, hingga akhirnya didorong balik oleh tembok yang dingin.
“Kalau memang begitu, maka semakin tidak boleh dirimu melakukan hal ini. Karena ini, akan menjadi pengkhianatan pada niatan Kreator.”
Aku tersentak sesaat oleh ucapan itu. Ketika dirinya menyebut ‘Kreator’, itu merujuk pada satu orang lain yang juga menyelamatkanku dulu. Dia ... yang tidak melepaskan tanganku dulu. Ketika aku mendengar nama itu berserta kata ‘pengkhianatan’, tak kuasa aku menahan guncangan.
Sekarang, ia menaruh tasnya di wastafel. Membuka kembali ritsletingnya, lalu merogoh-rogoh. Ia menarik sesuatu keluar dari dalam, dan sekali lagi mendekatiku. Aku yang merasa terkepung tak bisa menahan dirinya, semakin mendekat, dan akhirnya meraih tangan kiriku, menariknya dengan kuat.
“Jangan lupa bahwa hidupmu sekarang bukan sepenuhnya milikmu. Hidupmu sudah sekali dipungut oleh orang lain, dan diberikan kembali sebagian padamu. Oleh Kreator, oleh diriku. Merusak kepemilikan orang lain, bukanlah hal yang sopan, kau tahu? Sebab itu, bagaimana pun caranya, kau harus menahan dorongan melukai diri sendiri.”
Di sela ocehan panjangnya itu, ia melakukan sesuatu pada tanganku. Entah mengapa aku tidak berani melihat, memaksaku mengalihkan muka. Aku merasakan sesuatu memang, sesuatu ditekan, dan ditarik di atas kulit. Tapi sekali lagi, aku tak berani melihatnya.