Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gaun putih itu terhampar manis di atas ranjangku. Aku masih saja asyik menekurinya. Gaun pengantin berwarna putih, dengan sedikit bordiran sebagai aksen, dan model rok panjang tumpuk yang mengembang. Saat aku menyentuhnya, aku bisa merasakan setiap lekukannya, detailnya, lembutnya. Seumur hidupku aku belum pernah melihat gaun seindah ini.
Kudekap gaun itu ke tubuhku. Aku bisa melihat bayanganku dengan gaun pengantin di depan cermin. Aih, cantiknya! Pasti aku akan menjadi pusat perhatian para tamu undangan nanti. Membayangkan hal itu, aku tersenyum sendiri. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia itu tiba.
Tok... tok... tok...
Ketukan pelan dari luar pintu kamar membuyarkan lamunanku. “Nadia, makanlah dulu, Nak. Sejak pagi kamu belum makan!” Itu suara ibuku.
Ya, Bu. Sebentar lagi.” Aku menyahut dengan malas sambil masih mematut-matut diri di depan cermin.
Tiba-tiba aku tersadar. Aku seperti terbangun dari mimpi. Seketika air mataku luruh satu per satu. Aku menangis sambil mendekap gaun pengantin itu dengan erat. Kenyataan ini begitu pahit. Di saat separuh undangan sudah tersebar dan persiapan sudah cukup matang, tiba-tiba kamu membatalkannya begitu saja. Kamu lebih memilih dia, sahabat baikku. Pengkhianatan ini sangat menyakitkan.
Aku terus menangis dalam diam. Impian akan pernikahan dan gaun pengantin yang indah ternyata semu semata.