Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kau sudah coba hubungi dia belum?" JB mengernyit sembari tersenyum setipis kulit bawang.
"Sudah tiga kali. Cukuplah segitu, kalo memang dia niat mau membantuku--"
"Pastilah ada niatnya, Brader. Sudah lima belas tahun kita berteman, 'kan? mungkin belum ada lowongan yang pas untukmu."
"Tapi dia punya network yang luas lo, J?! kalo dia mau, gampang saja sebenarnya, 'kan? Dia cukup bilang: ini ada temanku yang lagi jobless, kualifikasinya bla ... bla ... bla."
"Barangkali dia sudah lakukan itu--"
"Aku yakin--belum, J!" CK menatap sahabatnya, "tapi sudahlah, tak apa. Aku takkan menanyakan dia lagi."
"Bersabarlah, Brader--"
"Kurang sabar apa lagi aku ini? sudah dua tahun berusaha. Kirim resume ke sana-sini, tanya si A si B. Payah memang kalo belum rezeki."
JB tertunduk--bingung mau bilang apa lagi untuk menghibur CK. Dia maklum akan kegelisahan sahabatnya itu. Tentu bukan masalah ekonomi yang memberatkan CK--keluarganya sangat berada untuk menyuplai kebutuhannya.
"Baiklah, Brader. Aku usahakan juga cari info, ya?! JB bangkit dari kursi.
"Thanks, J."
Mereka 'bersalam kepal' lalu meninggalkan kafe itu dengan kendaraannya masing-masing.
-0-
Ri tidak habis pikir, kenapa CK belum juga dapat pekerjaan sampai saat ini, padahal dahulu CK termasuk karyawan performer di perusahaan yang memberinya pesangon, saat efisiensi besar-besaran akibat parahnya situasi pandemi kala itu.
Sebagai kekasih, Ri berusaha memahami beban psikologis yang ditanggung oleh CK sebagai jobseeker, namun menurutnya idealisme CK untuk mencari posisi yang sama dengan posisi terakhirnya waktu bekerja, tidak tepat untuk situasi seperti ini. Lagian, CK kurang agresif dalam ber-job hunting.
"Kayaknya kamu harus mengalah, Bang, yang penting dapat kerja aja dulu. Turun posisi enggak masalah kok--" Ri menoleh pada CK yang sedang menyetir mobil. Sejak jobless, CK jadi rutin mengantar-jemput dirinya ke kantor.
"Kamu tahu gimana beratnya perjuangan meniti karier, 'kan?"
"Iya, tapi kalo terlalu lama nganggur susah juga, Bang."
"Biar saja susah, asalkan posisi tidak turun."
"Kalo kelamaan, gimana kita mau menikah? Aku mau 28 lo, Bang?"
CK tersentak dan memperlambat kecepatan mobil. Ditolehnya Ri dengan sedikit kesal.
"Jadi kamu tidak mau menikah kalo aku belum kerja?"
"Bang, buatku itu bukan masalah, tapi buat keluargaku?" Suara Ri agak meninggi.
"Kalo begitu, ikuti saja keinginan keluargamu. Aku tak bisa seperti yang mereka mau."
"Ah, sudahlah, Bang. Tak usah dibahas lagi. Aku langsung pulang aja."
"Oke, tak masalah." CK membelok ke kanan di pertigaan itu. Topik sore ini membuatnya kecewa. Tadinya dia berharap, status dirinya bukanlah syarat untuk menikah dengan Ri--kekasihnya selama 5 tahun ini. Bukankah cinta layak lebih dipentingkan daripada status sosial? Kalau memang Ri tidak mempermasalahkannya-artinya dia juga cinta-kenapa dia harus mempertimbangkan pendapat keluarganya? Bukankah ini soal waktu saja bagi CK untuk nanti dapat bekerja lagi?
Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Ri.
"Makasih, Bang," ujar Ri dingin sembari keluar dari mobil. Tak ada senyuman, tak ada ajakan untuk singgah barang sebentar.
"Hmm ... terserahmu, Ri." CK berlalu dengan santai sambil men-search channel FM di dashboard.
"Payah! sabar dikit kenapa sih?" bisik CK sinis.
Apapun yang terjadi, dia tidak akan melamar, apalagi menerima pekerjaan yang mendegradasi karier yang dengan susah payah dicapainya waktu itu.
#