Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
KAYU BAKAR SIMBOK
Adjie P. Atmoko
Aku melihatnya lagi. Bertambah tinggi tumpukan kayu kering di sisi kanan rumah. Terasa bertalu degup dada ini, tak sabar untuk ditumpahkan. Siapa gerangan bedebah yang tanpa rasa malu terus mengirim kayu bakar pada ibuku?
Mereka datang begitu saja, tidak ada mengirimkan kayu-kayu bakar itu, Nduk. Omong kosong! Mana mungkin aku percaya kata-kata seperti itu! Isi kepala Simbok semakin kacau saja, tidak beda jauh dengan Bapak yang mendongengiku soal aurat, sesaat sebelum ngendhat. Menggelikan untuk tahu seseorang berceramah soal dosa, namun kemudian dia menyudahi sesi keagamaan nan suci tersebut dengan bunuh diri. Cuih! Lalu, belum kering tanah kubur bapak, Simbok malah memintaku bertobat agar arwah Bapak bisa tenang di sana. Ya ampun, Mbok..., dusta mana lagi yang kau kitabkan? Katamu, setiap bapak akan dimintai pertanggungjawabannya dalam mendidik anak perempuan dan istrinya di akhirat nanti? Duh, ampuni aku, Tuhan, eum, ampuni aku, Bapak....
Dan pertanyaan tentang siapa pengirim kayu bakar di samping rumah tak pernah terjawab hingga beberapa waktu. Sepertiku yang semakin tenggelam dalam kepungan dunia malam, rumah Simbok pun semakin tenggelam oleh tumpukan kayu bakar yang tak terhitung banyaknya. Kayu-kayu itu sangat kering, sehingga sempat tebersit kekhawatiran setiap musim panas datang. Biar bagaimanapun, meski aku membenci Simbok karena bersuamikan Bapak, tetap saja aku tidak akan ingkar pernah tinggal di rahimnya. Jadi, kuabaikan saja setiap makian tetangga yang anak-anaknya kuusir karena bermain di sekitar rumah—dan tumpukan kayu bakar Simbok. Toh, di pikiranku, para tetangga laknat itu justru akan tertawa dan menari-nari jika sampai terjadi kebakaran yang memanggang tubuh ringkih Simbok.
“Semua kayu-kayu kering dikirim ke rumah kita langsung dari neraka, Nduk.” Simbok mengatakannya saat Malaikat Maut sampai di depan pintu rumah kami. “Kayu-kayu itu adalah bahan bakar untuk Simbokmu ini. Setiap detik, setiap menit kau melakukan kemaksiatan, saat itu juga kayu-kayu bakar dari neraka akan dikirim ke rumah ini sebagai pesan untuk Simbok. Setiap langkahmu yang tak Simbok restui, adalah tiket untuk Simbok menuju bara api.”
Aku meraung! Menolak segala argumen yang kudengar dari Simbok. Sementara Malaikat Maut masih sabar menunggu di ruang tamu, memandangi atap yang kurasa sepuluh detik lagi akan runtuh. Dan sebelum itu terjadi, aku merasa harus mengeluarkan semua yang harus diungkapkan.
“Simbok selalu menyalahkan aku! Aku, anakmu! Aku, yang sejak kecil dijadikan babu oleh laki-laki yang seharusnya melindungiku! Simbok seharusnya bertanya, dan aku pasti menjawab, kenapa anakmu ini terus hidup dalam kenistaan. Tanyalah, Mbok, tanya...,” Airmataku luruh, jatuh bersama runtuhnya pertahanan diri setelah betahun-tahun bertahan dalam rasa sakit dan dendam akut. “Suamimu, Mbok..., orang yang membuatku ada di dunia jahanam ini, dia..., dia menodaiku saat aku SD, Mbok! Dia tak pernah berhenti menggauliku sejak itu!!! Apa engkau tahu? Apa engkau tahu, Mbok?” Raungku makin menjadi-jadi.
Dua Malaikat Maut tidak lagi di ruang tamu. Kulihat, bola mata Simbok memancarkan kengerian didatangi Malaikat Kematian. Atau, mungkin..., keterkejutan atas kejujuran yang menyakitkan.
***