Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin

"Aku mau yang lebih manis dari permen loli."
____ oOo ____
Ketika mobil kami mulai berjalan, kupandang hamparan pesisir pantai yang mulai mengecil dalam bingkai jendela belakang, menyusut dalam petak-petak warna yang menggelap seiring mobil membawa kami menjauh. Semua hal yang kami lalui sepanjang hari ini menjelma menjadi kenangan-kenangan manis yang terpapar di benak. Nyaris bisa kurasakan kembali sensasi debar jantung dalam setiap gram ingatan tentang kami berdua. Aku dan Egi.
"Hari ini seru banget," kataku setelah berhasil menggapai kesadaran di tengah lamunan. Aku menatap Egi di bangku kemudi.
Dia menatapku balik, mengangguk setuju. Mulutnya sedang mengulum permen loli, jadi aku tidak keberatan ketika dia pelit berbicara.
"Lo lapar, nggak?" tanyaku.
Dia tidak membalas apa-apa dan terus mengemudi selagi memperhatikan jalan. Kupikir dia masih kenyang setelah makan siang tadi, atau mungkin angin malam membuatnya mengantuk sehingga pendengarannya melemah. Hendak kutawari menggantikannya menyetir ketika Egi tiba-tiba berbelok ke persimpangan dan menepikan mobilnya di lahan parkir sebuah kafe.
Di kedalaman hati aku menjerit ketika tiba-tiba saja Egi mendekat ke arahku, membantuku melepas sabuk pengaman.
Setelahnya, dia menarik permen dari mulutnya. Memandang tepat ke dalam mataku.
"Ayo makan," katanya. Aku bisa melihat bibirnya yang mengilat selepas mengulum permen, dan sempat kepikiran untuk mencicipi rasa permen itu dari bibirnya.
Kami masuk ke dalam kafe dan memilih meja kosong di dekat jendela yang menghadap jalan raya. Egi meninggalkanku sebentar untuk memesan makanan, kemudian dia kembali dan duduk di hadapanku. Wajahnya berseri dalam cahaya lampu jalan yang menembus lewat kaca, berpendar di rambut gelapnya, dan sekali lagi mengusik keinginan liar di dalam diriku untuk menyentuhnya.
"Mereka bilang kita harus nunggu lebih lama buat makanannya," katanya setelah menarik permen loli dari mulutnya.
Dia menatapku beberapa saat, bertanya dengan suara lembut, "Lo nggak keberatan nunggu, kan?"
"Gue nggak bakal bosan nunggu kalau sama lo," kataku. Egi hampir tersenyum kemudian cepat-cepat mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Sepertinya aku kelewatan memandangi bibirnya sehingga membuatnya malu. Jadi, pada saat kami saling berdiam diri canggung, aku memutuskan untuk menggeser pandanganku sedikit ke bawah; ke permen lolinya.
Bukan berarti aku menginginkan permen. Aku hanya tidak menemukan objek yang lebih menarik untuk kupandang selain wajah tampannya yang memikat. Tetapi, rupanya Egi tidak curiga apa pun. Dia malah mengulurkan permen loli itu di hadapanku, dan berkata, "Lo mau ini?"
Aku mendongak menatap wajahnya. Egi sedang tersenyum, yang menurutku sengaja dia lakukan untuk membuatku gila. Sudut bibir kanannya tertarik ke atas sedikit lebih tinggi daripada yang kiri; mengundang jiwa yang lapar untuk segera menyentuhnya. Omong-omong, akulah jiwa yang sedang kelaparan itu. Egi mencoba mempermainkanku. Aku tidak ingin terjebak dalam permainan seduktifnya di tengah-tengah keramaian kafe, tetapi aku ingin sekali mencicipinya.
Bukan, bukan permen loli. Tentu saja bibirnya.
Dia punya bibir yang manis, kemerahan dan mengilat karena air liur. Memang ada hal lain yang kepengin kulakukan selain melahap bibirnya?
"Hei, lo mau apa nggak?"
Aku menjawabnya dengan sedikit liar;
"Gue mau bibir lo. Boleh, kan?"[]
-END-