Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gudang dibongkar paksa polisi. Teman dekat dibawa ke kantor polisi. Joni dan Ria sebagai kepala kelompok di bawah ke gedung pemerintah. Awan kelabu terpancar di langit wajah mereka. Tangan mereka diikat borgol. Seorang petugas membawa mobil pergi ke jalan raya. Malam itu kondisi jalan raya amat sepi. Sementara di dalam mobil Ria dan Joni sibuk berpikir kemungkinan buruk yang menimpa mereka. Apa mereka akan didakwa dengan pidana serius? Bagaimana nasib keluarga mereka? Lalu pikiran buruk berhenti berkenala saat mobil berhenti di sebuah tempat tidak diketahui oleh mereka. Pintu mobil dibuka. Mereka dituntun pelan memasuki sebuah rumah mewah oleh petugas itu.
Kepala mereka masih ditutupi kain hitam. Petugas mengarahkan mereka duduk di sofa panjang nan empuk. Setelah duduk, kepala mereka bebas melihat. Mendadak sorot mata mereka menegang tajam. Wajah-wajah di depan mereka amat familiar bagi mereka. Kepala daerah. Pemilik tanah. Kelompok investor. Kini butiran keringat mengalir keluar dari tubuh mereka. Mereka seperti menyadari sedang berhadapan dengan sosok kuat pulau dewata.
Tak lama kemudian kepala daerah mengutarakan maksud tujuan. Ia tidak suka kalau proyek hotel mewah dan kompleks hiburan mereka diganggu. Joni dan Ria terdiam membeku. Pemilik tanah meminta mereka angkat kaki dari pulau dewata kalau masih berniat hidup. Joni dan Ria menundukan kepala mereka. Kelompok invetor menjajikan tiket bisnis kelas untuk pulau ke ibu kota. Namun kalau mereka menolak maka para investor akan menyediakan peti mati bagi mereka. Mereka menutup mata dan mengangguk setuju atas desakan kelompok elit itu.
Kepala Joni dan Ria dipakaian lagi kain hitam. Mereka otomatis dibawa pergi dari hadapan kelompok elit pulau dewata. Kini tubuh mereka diletakan di kursi belakang mobil. Tanpa basa-basi mereka langsung digiring ke bandara pulau dewata. Setelahnya seorang petugas mendiktekan langkah yang harus mereka ambil berikutnya. Mereka harus naik pesawat dan jangan kembali ke pulau dewata. Kalau mereka sampai melihat batang hidung mereka maka nyawa mereka pasti melayang. Sekali lagi tubuh mereka membeku tegang, kepala tertunduk mengalah, dan mulut terkunci rapat. Namun bagi petugas itu pertanda jika mereka setuju dengan ucapannya barusan.
Mobil berhenti di bandara pulau dewata. Mereka bergegas berjalan menjauh sambil membawa tiket kelas bisnis. Sebenarnya langkah kaki mereka mengayun begitu berat. Namun mereka tidak punya waktu mengeluh. Waktu keberangkatan pesawat mereka tinggal dua puluh menit lagi. Mau tak mau mereka harus mengejar pesawat itu. Bahkan dalam perjalanan masuk saja, nama mereka telah disebut berulang kali oleh petugas bandara. Lalu dari ujung ekor mata mereka kelihatan jelas masih ada antek-antek kelompok elit pulau dewata. Dalam batin Joni bertutur begini. Untung saja nurut pulang sehingga tubuh kami tidak dikubur hidup-hidup. Sepuluh menit kemudian mereka duduk di dalam pesawat. Ternyata kursi pesawat hanya diisi oleh mereka. Tanpa aba-aba lampu pesawat dimatikan. Mesin pesawat menyala terburu-buru. Pilot memaksimalkan kecepatan lalu membawa pesawat menuju ke langit malam.
Dalam kegelapan Ria meraih tangan Joni. "Aku harap kamu tidak marah sama aku."
Joni mengelus pundak tangan Ria. "Kamu tidak perlu merasa berasalah. Yang kamu lakukan dengan teman dekat memang patut dilakukan."
Ria menudukan kepala dipenuhi rasa salah. Ia pun menanggis dalam kegelapan yang sunyi.